Minggu, 29 Desember 2013

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENDORONG GREEN PARTNERSHIP DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENDORONG GREEN PARTNERSHIP DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI

Oleh: Rismunandar *)


I.  Pengantar
Dewasa ini pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan merupakan isu yang sangat dipedulikan oleh banyak pihak. Hal ini terutama didorong oleh kian merosotnya fungsi ekosistem hutan sebagai akibat dari eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek. Secara ekologis, fungsi hutan memiliki fungsi vital sebagai penyangga kehidupan yang menjamin keberlanjutan aktivitas kehidupan masyarakat. Peran yang dijalankannya dalam fungsi tersebut antara lain adalah menyediakan jasa lingkungan berupa penyediaan sumberdaya air, kenyamanan lingkungan, penyerapan karbon, keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah, dan keindahan serta keunikan alam. 
Berbagai pihak berpandangan bahwa paradigma atau pendekatan lama pengelolaan sumberdaya hutan merupakan sebab pokok atas berlangsungnya perusakan ekosistem hutan akhir-akhir ini. Hampir di seluruh wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di Kabupaten Kuningan terus dihadapkan kepada ketidakpastian pengelolaan sumberdaya hutan untuk dapat menyelamatkan hutan dan masyarakatnya dari keterpurukan berkelanjutan.
*) Mahasiswa PSL
 
Sebagai koreksi terhadap kekeliruan masa lalu, pendekatan baru pengelolaan sumberdaya hutan dimunculkan. Desentralisasi dan manajemen partisipatif adalah pendekatan yang sangat ditonjolkan dalam wacana dan implementasi pengelolaan sumberdaya hutan saat ini.  Melalui pendekatan tersebut masyarakat diberi ruang yang lebih luas untuk mengaktualisasikan potensinya menurut dorongan kebutuhan sendiri dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Hal ini diharapkan menjadi jalan bagi pengintegrasian masyarakat dan pemerintah, baik secara psikologis maupun tindakan sehingga keduanya melangkah dalam arah yang sama, yaitu menuju pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
Kabupaten Kuningan memiliki posisi strategis sebagai daerah perlindungan dan pengatur tata air terutama bagi daerah hilirnya, yaitu Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan Kabupaten Brebes. Pemerintah Kabupaten Kuningan dan para pihak lainnya memiliki komitmen yang kuat untuk turut menerapkan pendekatan baru pengelolaan sumberdaya hutan tersebut.  Luas hutan yang mencapai ± 45 % dari luas seluruh wilayah dan relatif tingginya tingkat interaksi masyarakat dengan ekosistem hutan merupakan argumentasi pokok yang mendasari relevan dan pentingnya penyelenggaraan pengelolaan sumberdaya hutan yang keberlanjutan di Kabupaten Kuningan.
Berdasarkan kondisi wilayah yang merupakan kawasan berhutan dengan tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi apabila dieksploitasi dan dengan keterbatasan biofisik yang menjadi kendala dalam pengembangan wilayah maka Kabupaten Kuningan tergolong ke dalam Kriteria Land Lock. Oleh karena itu, untuk membangun Kabupaten Kuningan dibutuhkan suatu model pembangunan yang menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang ada namun disisi lain pembangunan tersebut juga mampu untuk meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat dan memberikan kontribusi pendapatan kepada pemerintah Kabupaten Kuningan.
Harapan mewujudkan kehidupan yang sejahtera adalah cita-cita utama setiap masyarakat. Masyarakat Kabupaten Kuningan, tanpa kecuali juga memiliki harapan besar tersebut. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya masyarakat Kuningan telah berkomitmen dan melaksanakan pembangunan pada berbagai bidang kehidupan. Secara esensial, pembangunan telah dilakukan sepanjang sejarah keberadaan masyarakat Kuningan itu sendiri. Mewujudkan kehidupan yang lebih baik sebagai makna dasar dari pembangunan telah menjadi bagian dari tindakan masyarakat Kuningan purba sampai dengan saat ini. Secara formal sebagai sebuah konsep modern, pembangunan telah dilaksanakan di Kabupaten Kuningan semenjak masa pembangunan nasional pasca kemerdekaan dicanangkan. Dalam konteks ini, pembangunan masyarakat Kuningan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia.
Pembangunan di Kabupaten Kuningan menempatkan matra (dimensi) ekonomi sebagai titik beratnya. Hal ini karena kesejahteraan ekonomi yang dicirikan oleh kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan materi yang nyata merupakan dasar bagi terbangunnya kesejahteraan dalam matra lainnya, yaitu antara lain sosial, budaya, ekologis, psikologis dan spiritual. Namun demikian, hal ini tidak berarti pembangunan bidang-bidang lainnya diabaikan. Penekanan tersebut lebih menunjukan prioritas daripada pilihan tunggal. Salah satu bidang yang mendapat perhatian penting adalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Perhatian terhadapnya bukan semata karena mengikuti keprihatinan global dan nasional yang mengkhawatirkan terganggunya keberlanjutan (sustainability) pembangunan akibat kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Namun, lebih dari itu dikarenakan Kabupaten Kuningan memiliki potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang kaya sehingga pada tempatnya untuk diperhatikan dan dikelola secara sungguh-sungguh.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (SDA-LH) di Kabupaten Kuningan didasari oleh prinsip pemanfaatan yang lestari.  Prinsip ini mengandung makna, sumberdaya alam dan lingkungan hidup dilestarikan fungsinya tanpa menutup kesempatan untuk memanfaatkannya secara bijaksana bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan pengelolaan tersebut berbagai langkah telah ditempuh. Salah satu yang telah dilakukan adalah memantapkan komitmen untuk menjadi daerah pelestari SDA-LH dalam kerangka konsep Kabupaten Konservasi. Saat ini Kabupaten Kuningan masih berproses untuk menuju Kabupaten Konservasi. Berbagai prakarsa dan tindakan nyata masih harus ditempuh untuk mencapainya. Pada kesempatan ini saya mencoba berbagi dengan para pihak, khususnya kalangan dari dunia kampus, mengenai kebijakan dan langkah Kabupaten Kuningan dalam rangka mewujudkan Kabupaten Konservasi.  
Mengingat peran dan fungsinya yang sangat besar sebagai daerah penyokong (hinterland), penyangga dan daerah tangkapan air maka Kabupaten Kuningan bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sesuai dengan kaidah konservasi.  Langkah strategis yang ditempuh adalah dengan dideklarasikannya kuningan sebagai kabupaten konservasi.  Bertolak dari sini, maka program pembangunan yang ditempuh berlandaskan pada pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem penyangga kehidupan, dan pengawetan keanekaragaman hayati.  Di samping itu, pembangunan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat juga tetap digalakan, mengingat pembangunan ekologis sulit terwujud apabila pembangunan ekonomi belum tangguh sehingga perlu dipersiapkan program kegiatan yang terintegrasi dalam implementasinya.
II.   Kebijakan Umum Pembangunan Kabupaten Kuningan
Kabupaten Kuningan telah memiliki arahan yang pasti mengenai kondisi ideal yang akan dikejarnya di masa mendatang. Hal ini telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dalam wujud Visi pembangunan jangka panjang Daerah, yaitu “ Dengan Iman dan Taqwa  Kuningan sebagai Kabupaten Agropolitan dan Wisata Termaju  di Jawa Barat Tahun 2025 . Berdasarkan Visi ini, Kuningan di masa jangka panjang yang akan datang adalah Kuningan yang maju, unggul dan sejahtera dengan bermodalkan segenap potensi yang dimilikinya. Ada 3 kalimat kunci untuk mengambarkan Kuningan di masa akan datang sebagimana tertuang dalam RPJP tersebut, yaitu 1) kawasan pertanian terpadu dan maju (agropolitan), 2) kawasan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, dan 3) kawasan penyedia jasa berbasis jasa lingkungan (pariwisata). Dengan demikian, dalam perspektif jangka panjang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah menjadi salah satu fokus utama atau core business pembangunan Kabupaten Kuningan.
Visi ini akan diwujudkan melalui serangkaian tahapan pembangunan jangka menengah (5 tahunan) sesuai dengan lamanya periode kepemimpinan Bupati. Untuk periode 2008-2013, Visi pembangunan jangka menengahnya adalah “Kuningan lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata yang Maju dalam Lingkungan Lestari dan Agamis Tahun 2013 ”. Untuk mencapai Visi ini telah dirumuskan Misi sebagai berikut.
Misi 1 :
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan memantapkan pembangunan manusia melalui akselerasi peningkatan derajat pendidikan, kesehatan, dan daya beli;
Misi 2 :
Meningkatkan pengembangan agropolitan dan kepariwisataan daerah melalui penguatan sarana dan prasarana, sinergitas sektor dan wilayah, serta produktivitas dengan berorientasi pada pemberdayaan perekonomian rakyat;
Misi 3 :
Meningkatkan kehidupan masyarakat yang agamis, harmonis, dan bersatu;
Misi 4 :
Meningkatkan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam kerangka Kabupaten Konservasi dengan berorientasi pada perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari.
Untuk melaksanakan Visi dan Misi pembangunan jangka menengah tersebut secara terarah telah disusun pentahapan pembangunan, yaitu sebagai berikut.
1.    Ngarengsekeun Cumponna Sarana Prasarana, Masagikeun Sumberdaya Manusa dengan fokus: Pemantapan sarana-prasarana daerah dan pertanian, serta sumberdaya manusia;
2.    Ngokolakeun Sumberdaya Alam Jeung Manusa, Nanjeurkeun Kaunggulan Lokal dengan fokus: Peningkatan pendayagunaan sumberdaya berdasarkan keunggulan komparatif;
3.    Ngawangun Agropolitan, Ngaronjatkeun Produktivitas dengan fokus: Peningkatan keterpaduan dan produktivitas pertanian dan pariwisata dalam kerangka agropolitan;
4.    Ngundakeun Ajen Inajen, Nohagakeun Kamampuh (Daya Saing) Daerah dengan fokus: Pemantapan daya saing (keunggulan kompetitif) daerah berbasis pertanian dan pariwisata;
5.    Ngahangkeutkeun Jeung Ngawalatrakeun Pangwangunan dengan fokus Pemantapan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan secara berkelanjutan.

Pentahapan tersebut memungkinkan pembangunan di Kabupaten Kuningan dilakukan secara lebih tertib dan terarah. Seluruh pelaksanaan program dan kegiatan di tingkat sektor dan wilayah dilakukan dalam rangka mewujudan tahapan tersebut beserta fokus-fokusnya.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan  tahun 2011 – 2030, bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Konservasi berbasis pertanian dan pariwisata yang berdaya saing.   Salah satu kebijakan penataan ruang tersebut meliputi:
1.     Pemantapan kawasan konservasi,  dengan strategi sebagai berikut:
a.        Mengendalikan secara ketat fungsi kawasan lindung
b.        Menetapkan tata batas kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)
c.         Menetapkan zonasi kawasan TNGC
d.        Menetapkan zona penyangga untuk kawasan TNGC
e.        Meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup di sekitar TNGC dan TWA linggarjati
f.         Mengembangkan Kebun Raya Kuningan (KRK) sebagai kawasan konservasi Ex-situ
g.        Mengembangkan  kegiatan pariwisata alam dan/atau minat khusus di kawasan TNGC, TWA Linggarjati dan KRK.
h.        Mengembangkan model desa konservasi.
2.     Pemanfaatan Sumberdaya secara berkelanjutan, dengan strategi diantaranya:
a.        Mengembangkan kegiatan konservasi yang bernilai lingkungan dan sekaligus bernilai sosial-ekonomi pada kawasan perkebunan dan kehutanan
b.        Merehabilitasi lahan kritis dan potensial kritis
c.         Melindungi kawasan resapan air dan mata air untuk mempertahankan ketersediaan air baku
d.        Memanfaatkan potensi air Waduk Darma untuk kegiatan budidaya pertanian, perikanan, pariwisata, dan pemenuhan air baku.
Untuk menopang pelaksanaan pentahapan tersebut telah disusun rencana-rencana dasar berjangka menengah dan panjang dalam berbagai bidang, yaitu Master Plan Agropolitan, Master Plan Kebun Raya Kuningan, Master Plan Pembangunan Kuningan tahun 2030, dan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) serta beberapa kebijakan yang menunjang pelaksanaan tahapan pembangunan di Kabupaten Kuningan.

III.   Permasalahan dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup di Kabupaten Kuningan
Kuningan diberi anugrah sumberdaya alam yang khas dan kaya. Daerah yang bergunung-gunung khususnya Kawasan Gunung Ciremai mengandung potensi sumberdaya air dan jasa lingkungan pariwisata yang besar. Potensi ini cukup menonjol dimiliki Kabupaten Kuningan dibandingkan daerah lain, khususnya di wilayah Ciayumajakuning. Pada sisi lain, terutama akibat pertumbuhan penduduk dan meningkatnya aktivitas sosial ekonomi timbul tekanan yang tidak ringan terhadap fisik dan fungsi SDA-LH di Kabupaten Kuningan. Hal ini telah menimbulkan beberapa masalah penting, antara lain:
1.     Erosi di daerah hulu dan sedimentasi di daerah hilir;
2.     Sisa lahan kritis dan lahan kritis baru yang memerlukan penanganan berkelanjutan;
3.     Menurunnya kualitas lingkungan kota sebagai akibat dari perkembangan kota yang melampaui daya dukung dan daya tampungnya
4.     Bencana alam di kawasan rentan gerakan tanah tinggi yang cukup dominan;
5.     Kemerosotan kondisi biofisik dan fungsi Kawasan Gunung Ciremai;
6.     Jaminan ketersediaan sumberdaya air (khususnya air bersih) dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
7.    Pengelolaan lahan yang kurang berorientasi pada konservasi;
8.    Integrasi pengelolaan sumberdaya alam antar sektor dan antar pelaku (stakeholder);
9.     Pencemaran lingkungan di wilayah perkotaan;
10.  Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan  belum optimal;
11.  Optimasi Pemanfaatan sumber-sumber air potensial ;
12.  Penanganan sampah belum optimal;
Mengingat keadaan tersebut, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup perlu menjadi salah satu kegiatan pembangunan utama (core business) Kabupaten Kuningan selain pertanian.  Masa depan Kabupaten Kuningan tidak terletak pada industri manufaktur, namun pada jasa sumberdaya alam dan lingkungan dan pertanian. Penegasan mengenai komitmen pengelolaan SDA-LH ini telah ditetapkan dalam bentuk Misi pembangunan jangka panjang, yaitu sebagai berikut.:
A.   Mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dengan berorientasi pada jasa lingkungan. Misi ini adalah mewujudkan pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan dengan berfokus pada pemanfaatan jasa lingkungan melalui pelestarian kawasan lindung dan kawasan budidaya guna mencapai Kabupaten Konservasi; peningkatan konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air, hutan, lahan, dan tambang; peningkatan penerimaan daerah dari jasa lingkungan; dan peningkatan pengelolaan kawasan rawan bencana alam. Sasarannya adalah sebagai berikut.
1.    Mantapnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang dicirikan oleh efektifnya pengaturan (regulasi) serta organisasi pengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Daerah.
2.    Terbangunnya sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan terpadu yang dicirikan oleh adanya perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang utuh dan sinergis antar jenis pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
3.    Meningkatnya pemanfaatan jasa lingkungan dari sumberdaya alam dan lingkungan disertai menurunnya pemanfaatan yang bersifat ekstraktif terhadap hasil-hasil langsung sumberdaya alam.
4.    Terjaga dan terpeliharanya kawasan lindung secara optimal.
5.    Terlaksananya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup di kawasan budidaya secara optimal.
6.    Menurunnya luas lahan kritis hingga mencapai.
B.   Mewujudkan pariwisata alam yang maju. Misi ini adalah mengoptimalkan pengelolaan pariwisata alam daerah untuk menjadi yang terdepan di wilayah Ciayumajakuning/Jawa Barat dengan mengoptimalkan pendayagunaan pariwisata daerah; meningkatkan daya saing pariwisata daerah; dan menempatkannya sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Jawa Barat/Indonesia. Sasarannya adalah sebagai berikut.
1.    Terbangunnya pengelolaan pariwisata alam daerah yang handal dan modern dengan didukung oleh sarana-prasarana yang memadai, sistem pengelolaan yang efisien dan pelaksana yang profesional.
2.    Terdayagunakannya seluruh potensi pariwisata alam daerah yang unggul dalam sistem pengelolaan yang efisien dan profesional.
3.    Terwujudnya Kabupaten Kuningan sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Indonesia.
4.    Tercapainya sub sektor jasa pariwisata sebagai penyumbang terbesar ke dua terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
5.    Meningkatnya pertumbuhan perekonomian rakyat yang diakibatkan oleh dampak pengganda perkembangan pariwisata daerah.
Kebijakan tersebut selanjutnya ditegaskan kembali dalam bentuk program strategis dalam RPJMD 2008-2013, yaitu sebagai berikut.
1.    Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Kuningan memiliki kawasan berfungsi lindung yang cukup luas. Ini merupakan potensi besar untuk menghasilkan jasa lingkungan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu perlu didayagunakan melalui upaya pelestarian sumberdaya alam. Hal ini akan semakin mengokohkan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi. Kegiatan yang perlu ditempuh antara lain penuntasan rehabilitasi lahan kritis, peningkatan konservasi daerah tangkapan air (catchment area), pembangunan hutan kota, dan peningkatan pembangunan sumber air (situ dan embung).
2.    Pengembangan Pariwisata berbasis Jasa Lingkungan. Pariwisata berbasis alam (envieronmental service) merupakan unggulan pembangunan Kuningan. Untuk itu akan didorong secara terarah dan intensif khususnya melalui penataan sarana prasarana dan manajemen pariwisata. Kegiatan yang perlu ditempuh antara lain peningkatan sarana dan prasarana pariwisata dalam satu kawasan terpadu dan peningkatan promosi pariwisata daerah.
IV.     Beberapa Langkah Nyata Menuju Kabupaten Konservasi
Kabupaten Konservasi adalah wilayah administratif yang melaksanakan pembangunan berlandaskan pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pelestarian keanekaragaman hayati yang ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria Kabupaten Konservasi adalah sebagai berikut.
1.     Memiliki kawasan konservasi cukup luas
2.     Memiliki kawasan lain yang mempunyai nilai konservasi tinggi
3.     Memiliki komitmen politik yang dituangkan dalam dokumen daerah
4.     Dukungan politik dari masyarakat dan para pihak yang ditunjukkan oleh mekanisme konsultasi publik.
5.     Mempunyai struktur organisasi formal dan non formal dengan tugas pokok dan fungsi serta peran yang mendukung konservasi
6.     Memiliki regulasi daerah yang berorentasi dan/atau mendukung konservasi.
Dalam rangka mewujudkan pelestarian potensi Sumberdaya alam yang dimiliki, Pemerintah Kabupaten Kuningan berusaha menempuh prosedur dan langkah yang susuai dengan kebijakan Pemerintah Pusat, diantaranya Pengusulan Perubahan Fungsi dari Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) kepada Menteri Kehutanan RI dengan pertimbangan pelestarian dan perlindungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan, maka hasilnya adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004, seluas 15.500 hektar, yang termasuk wilayah Administrasi Kabupaten Kuningan seluas 8.921 hektar.  Harapan dari pengusulan perubahan fungsi tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap  kesejahteraan masyarakat khususnya di Kabupaten Kuningan secara berkelanjutan.
Sesuai arah kebijakan dan kewenangan Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan RI), Kabupaten Kuningan telah melaksanakan berbagai langkah diantaranya menindaklanjuti Surat Dijen PHKA Nomor: S.56/IV-KK/2005 tanggal 25 Januari 2005 tentang tindak lanjut TNGC yang dalam satu point nya menjelaskan bahwa Program PHBM yang mempertimbangkan aspek ekologis, aspek konservasi, sosial ekonomi dan perlindungan terhadap kawasan yang selam ini dilaksanakan dan relevan dengan fungsi kawasan gunung ciremai sebagai TNGC tetap dapat dilanjutkan, dengan membentuk Surat Keputusan Bupati tentang Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan TNGC secara Collaborative artinya perubahan fungsi kawasan hutan gunung ciremai menjadi TNGC, akses masyarakat ke wilayah TNGC tidak tertutup.  Hal tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Bupati Kuningan tentang Pembentukan Tim Penyusunan Rencana Pengelolaan TNGC secara Collaborative yang melibatkan unsur Balai TNGC (BKSDA Jabar II saat itu), LSM dan Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan pengelolaan hutan secara kolaboratif berbasis masyarakat di Kabupaten Kuningan diberlakukan di seluruh fungsi hutan melalui proporsi yang berbeda kegiatannya antara kawasan hutan yang berfungsi produksi, berfungsi lindung, dan berfungsi konservasi.
Saat Kabupaten Kuningan telah menyatakan komitmen-nya untuk menjadi Kabupaten Konservasi. Hal dilakukan melalui deklarasi kuningan Kabupaten Konservasi pada tanggal 2 Pebruari 2006. Deklarasi tersebut dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Kuningan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.  Kepentingan pengusulan Kabupaten Konservasi yang esensial adalah kepentingan penyelamatan sumberdaya alam dan lingkungan jangka panjang bukan semata untuk kepentingan politis.
Namun demikian, Kabupaten Kuningan masih perlu menempuh langkah panjang untuk benar-benar menjadi Kabupaten Konservasi yang ideal. Hal memerlukan kesungguhan dan partisipasi semua unsur masyarakat.
Berbagai prakarsa dan langkah telah ditempuh yang diharapkan dapat menjadi tonggak awal bagi bergulirnya Kabupaten Kuningan menuju Kabupaten Konservasi.  Langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Pengantin Peduli Lingkungan (Pepeling). Program ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan melalui peran serta masyarakat, khususnya keluarga, dengan mendorong pasangan pengantin menyumbangkan 10 batang bibit tanaman untuk ditanam                              di lingkungannya.  Sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat 85.320 batang bibit telah disumbangkan oleh para pasangan pengantin.
2.    Pengembangan Hutan Kota. Sasaran utama Program ini adalah untuk meningkatkan kualitas dan daya dukung lingkungan perkotaan yang mengalami peningkatan kegiatan sosial ekonomi, khususnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2010 telah dibangun hutan kota di 9 (sembilan) kecamatan dan 10 desa/kelurahan dengan luas ± 37,5 ha, lokasinya sudah ditetapkan dengan Keputusan Bupati Kuningan Nomor 522/Kpts.65-Dishutbun/07 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Kota dalam Kabupaten Kuningan dan                             Nomor 522/KPTS.251-Dishutbun/2008 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan Kota dalam Kabupaten Kuningan Tahun 2008.
3.    Persemaian Bergulir. Program ini dilaksanakan di 32 kecamatan yang dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bibit berkualitas khususnya bagi kelancaran pelaksanaan program lingkungan strategis, yaitu Pepeling pengantin peduli lingkungan, Seruling (seruan siswa baru peduli lingkungan), Apel (aparatur peduli lingkungan) Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK), dan Hutan Kota secara terarah dan terpadu.
4.    Rehabilitasi Situ dan Pembangunan Embung. Pelaksanaan Program ini berupa pemulihan kondisi dan fungsi situ yang telah ada, serta pembangunan penampung air (embung). Sasaran utamanya adalah meningkatkan ketersediaan air khususnya untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan rumah tangga.
5.    Deklarasi Kabupaten Konservasi tanggal 02 Pebruari 2006.  Kabupaten Kuningan memiliki potensi sumber daya alam yang potensial.  mengingat fungsi dan peranan Kabupaten Kuningan sebagai Hinterland dan sebagai daerah sistem penyangga kehidupan, basis alam yang dimiliki oleh kabupaten kuningan, salah satu fungsinya adalah sebagai daerah tangkapan air (Catchment Area) dan penghasil jasa lingkungan air bagi Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Brebes. Oleh karena itu, Kabupaten Kuningan mendeklarasikan sebagai Kabupaten Konservasi.
6.    Penyusunan Master Plan dan Pembangunan Kebun Raya Kuningan. Pencapaian ini merupakan landasan yang penting bagi perwujudan Kuningan sebagai Kabupaten Konservasi.
7.    Program APEL (Aparatur Peduli Lingkungan).  Program ini menumbuhkan persepsi dan dukungan aparatur dalam rangka pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.
8.    Program Pembangunan Model Desa Konservasi.  Program tersebut telah diupayakan melalui peningkatan peran serta masyarakat, LSM, Perusahaan Daerah Aneka Usaha dan Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam rangka mengoptimalkan peran strategis kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai secara berkelanjutan.  Implementasi tersebut telah terbangun MoU pengembangan potensi jasa wisata secara terintegrasi.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, 2003. Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Dephukham RI. Jakarta

Anonim, 2006. Laporan Penyelenggaraan Workshop Nasional Pengelolaan Taman  Nasional Multipihak Dalam Kerangka Kabupaten Konservasi. Kerjasama Tropenbos International (TBI) -World Wide Fund For Nature (WWF) - Center for International Forestry Research (CIFOR)- Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB - Departemen Kehutanan - Departemen Dalam Negeri. Bogor 29 Nopember – 1 Desember 2005.

Bapeda Kabupaten Kuningan. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Kuningan 2005 – 2025.

Bappeda Kabupaten Kuningan 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Kuningan 2008-2013.

BPS. 2010.  Kuningan dalam Angka (KDA) 2008.  BPS-Bappeda Kab Kuningan.

Bappeda Kabupaten Kuningan. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah  (RTRW) Kabupaten Kuningan Tahun 2011-2031.

Departemen Kehutanan RI. 1990. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Dishutbun Kab Kuningan. 2010. Statistik Kehutanan 2009. Pemkab Kuningan

Soemarwoto, O. 1984. The talun-kebun system, a modified shifting cultivation, in West Java.The Environmentalist 4 Supl 7 :96-98.

Tim Kecil Kabupaten Konservasi, 2005. Kabupaten Konservasi: Konsep, Kebijakan, Sistem Penetapan Penilaian Kerja (Draft Revisi Pebruari 2005).

Tim Kecil Kabupaten Konservasi, 2006. Sosialisasi dan Diseminasi Konsep Pengembangan Kabupaten Konservasi.


Sabtu, 28 Desember 2013

KONSEP DAN UPAYA PENERAPAN PRINSIP ILMU FISIKA DALAM EKOLOGI EKOSISTEM

KONSEP DAN UPAYA PENERAPAN PRINSIP ILMU FISIKA
DALAM EKOLOGI EKOSISTEM

Berdasarkan ilmu termodinamika, kita hidup untuk makan bukan sebaliknya makan untuk hidup (Roughgarden 1998).  Alam dapat menghasilkan struktur kompleks bahkan dalam situasi yang sederhana, dan alam dapat mengikuti hukum sederhana dalam situasi yang kompleks   (Goldenfeld, Kadanoff  1999).
 “Sindrom Newton" menjadi sebuah tanda telah terjadinya evolusi ilmu pengetahuan selama tiga abad terakhir.  Newton sebagai pendiri ilmu fisika modern menunjukkan bahwa dengan menggunakan konsep teoritis sederhana, seperti hukum gravitasi, memungkinkan untuk dapat menafsirkan gerakan planet-planet.  Hal ini menandakan bahwa dengan ilmu pengetahuan memungkinkan kita untuk memprediksi evolusi/perubahan yang terjadi di alam. Sejak penemuan Newton tersebut, para ilmuwan melalui ilmu pengetahuannya terus berusaha untuk menjelaskan dunia yang kompleks hanya dengan menggunakan parameter yang relatif sederhana dalam hal ini bersifat deterministik dan dapat diprediksi (Solbrig, Nicolis 1991).  Penemuan Hukum termodinamika II di abad 19-an tentang kesetimbangan termodinamika lebih memperkuat bahwa hukum termodinamika berkembang secara spontan menuju keadaan yang universal: keseimbangan termodinamika.  Akhirnya pada awal abad ke-20, para fisikawan menyimpulkan bahwa alam semesta bersifat deterministik dan reversibel (kembali).
Pada akhir abad ke-20, paradigma (yang ada dalam masyarakat) berubah. Yang mana pada awalnya kejadian di alam adalah ireversibel (tidak kembali) dan stokastik (tetap).  Berdasarkan hukum fisika yang bersifat deterministik dan reversible sebagaimana yang diungkapkan oleh persamaan matematika sederhana ternyata tidak mampu menjelaskan fungsi dari bagian yang kompleks seperti ekosistem. Memang, apabila tidak menggunakan prinsip-prinsip fisika, kita melihat alam bersifat sangat kompleks dengan perbedaan/batas yang tidak jelas antara sederhana dan kompleks serta antara keteraturan dan kekacauan (Goldenfeld, Kadanoff  1999). Dalam beberapa kasus, sedikit perubahan dari kondisi awal akan menghasilkan bentuk baru yang kompleksitasnya muncul secara spontan: hal tersebut merupakan perubahan yang berpegaruh terhadap efek stokastik (pengaruh yang tetap) pada sistem evolusi. Seperti yang dinyatakan oleh Nicolis, Prigogine (1989), bahwa kita akan menemukan evolusi, diversifikas dan ketidakstabilan. Kita hidup di dunia sangat beragam di mana ditemukan kejadian-kejadian yang bersifat deterministik, stochastic, reversibel serta ireversibel (berubah, tetap dan tidak balik serta tidak balik).
Dari beberapa penelitian yang berbeda-beda, para ahli ekologi kemudian mengembangkan konsep dan metodenya (ekologis) dan menyesuaikannya dengan bidang ilmu pengetahuan lain untuk menjawab pertanyaan dasar tentang ekosistem alam.  Permasalahan ini ditujukan untuk mengetahui apakah hukum-hukum yang dinyatakan pada ilmu fisika dapat diaplikasikan ke dalam dunia nyata,  dengan kondisi yang ada pada kehidupan tertentu. Berikut ini adalah ringkasan pemikiran untuk masalah tersebut (masih bersifat kontroversial) :
- Sangat memungkinan untuk menerapkan teori sistem (fisika) dalam sistem ekologi
- Sistem ekologi bersifat kompleks
-Struktur ekologi berada dalam suatu jaringan komunikasi (kohesi sibernetik); pengendalian/komunikais sebagai proses penyampaian informasi
- Sistem Ekologi menganut hukum termodinamika (termodinamika sistem disipatif )
- Sistem ekologi tersusun secara hirarki/bertingkat (teori hierarki )
- Sistem ekologi bersifat dinamis dalam ruang dan waktu (non-linear teori sistem dinamis)
- Sistem ekologi dapat beradaptasi dan berkembang (teori sistem adaptif)
- Sistem ekologi dapat mengatur diri sendiri (teori kekritisan diri terorganisir ) .
Berbagai pendekatan telah memberikan informasi yang berguna dalam menjawab permasalahan tentang organisasi sistem ekologi, tetapi informasi itu tetap terpisah-pisah dalam ketiadaan teori sistem ekologi secara umum.  Perkembangan kearah tersebut telah ada, walaupun masih tergolong sulit dalam penerapan secara operasional dari teori tersebut.
                                   
1.   KONSEP DASAR :  PENDEKATAN SISTEM
Studi tentang interaksi antara spesies dan lingkungan biofisiknya melahirkan pemikiran untuk mengidentifikasi penyebab dari suatu kejadian.  Pemikiran tentang hubungan sebab akibat umumnya dihasilkan dari pemikiran ekologis. Namun, dalam upaya untuk mengidentifikasi "penyebab" serta untuk memahami "akibat" interaksi tersebut, secara jelas menggunakan konsep dimana didalam suatu sistem terdapat hubungan antara sebab dan akibat.  Berdasarkan konsep tersebut, maka pada tahun 50-an para ilmuwan berusaha untuk membangun sebuah teori umum sistem yang didasari oleh teori  sibernetik dan informasi.  Teori kedua yang muncul pada 70-an dan 80-an,  menggabungan 2 (dua) konsep lainnya: komunikasi dan self- organisasi  (Durand 1996) .

1.1.
 Ruang lingkup besar
Ekologi adalah ilmu pengetahuan yang merupakan aplikasi dari pendekatan sistem. Pendekatan ini merupakan simbol dari konsep ruang lingkup yang besar (macroskope) yang dicetuskan oleh Joel de Rosnay (1975).  Lebih lanjut disebutkan bahwa pertimbangkan menggunakan pendekatan ini bukan sebagai ilmu pengetahuan, teori atau disiplin, tetapi sebagai "metode baru", yang memudahakan kita untuk mengumpulkan dan mengatur data dengan sebuah gambaran untuk memperoleh hasil yang lebih efisien.  Konsep tentang lingkungan (besar) ini sebenarnya adalah agar para pembuat kebijakan/intelektual memahami dan mampu menjelaskan fungsi dari alam semesta yang kita pelajari. Ini adalah salah satu cara untuk mempelajari fenomena alam yang kompleks. Pendekatan ini mencoba untuk mencari perubahan sebagai contoh prinsip-prinsip umum, struktural dan fungsi umum untuk berbagai ekologi.  Hal ini dapat digunakan untuk mengatur data ke dalam model untuk memfasilitasi komunikasi dan menggunakan data sebagai dasar untuk sebab dan akibat.
Berbeda dengan pendekatan analitis, pendekatan sistem mencakup komponen dari ilmu yang dipelajari dan dalam sudut pandang yang dinamis, serta menggabungkannya dalam satu interaksi. Sebagai contoh, adanya paradigma yang telah lama berlaku dalam ekologi yaitu dalam suatu ekosistem faktor abiotik mengendalikan unsur biotik. Berdasarkan paradigma tersebut, iklim dan tanah mengontrol distribusi vegetasi dan proses biologis.  Konsep ini secara bertahap berubah dengan adanya pemikiran baru yangmana reaksi fisiko-kimia juga dipengaruhi oleh organisme hidup. Hal ini terutama terjadi pada komposisi atmosfer (lihat Bab 16). Demikian pula, perubahan batuan yang umumnya hasil dari aktivitas mikroorganisme sebagai fenomena fisika.  Berbagai unsur pada ekosistem merupakan subyek dari efek ganda dari aksi dan reaksi.

1.2  Sistem yang memiliki struktur dan terorganisir
Karakteristik penting dari ekosistem adalah organisasi. Kalimat tersebut sulit didefinisikan. Hal ini karena organisasi merupakan bagian yang bebas dari komponen (organisasi) dari sistem itu sendiri. Organisasi adalah jaringan atau hubungan antar komponen atau individu yang menghasilkan sesuatu yang lain dimana masing-masing komponen tidak memilikinya. Di balik gagasan dari organisasi terdapat ide pemikiran dari beberapa optimalisasi anggota/lembaga komponen dari suatu sistem. 
Organisasi memiliki aspek struktural dan aspek fungsional.  Prinsip-prinsip struktural didasari oleh:
ü  Bagian dari Ekosistem dapat diidentifikasi, dihitung dan diklasifikasikan :
        Spesies mahluk hidup, individu, tahap perkembangan, serta komponen-komponen fisik (misalnya suhu, laju aliran) dan komponen kimia dari suatu ekosistem.
ü  Sebagai cadangan energi, materi, dan informasi yang dapat disimpan. Keberadaan cadangan sangat penting untuk kelangsungan fungsi ekosistem karena adanya cadangan akan memungkinkan ekosistem untuk beradaptasi.
ü  Jaringan komunikasi memudahkan pertukaran informasi, materi, dan energi antara unsur-unsur dan cadangan.   Jaringan makanan adalah contoh dari jaringan komunikasi, sangat populer pada literature/buku-buku ekologi.  Contoh lainnya dari jaringan komunikasi adalah memungkinkan berkomunikasi di antara spesies mereka sendiri (misalnya  suara, feromon  atau penglihatan).
ü  Sebagai faktor pembatas yang memisahkan ekosistem dari lingkungan luarnya dan yang dapat mudah diserap.    

Ciri-ciri fungsional dari ekosistem antara lain:
ü  Proses aliran masuk dan keluar pada ekosistem mewakili hubungan antara ekosistem dengan lingkungannya. Sedikit banyaknya hubungan ini didasari oleh kondisi apakah ekosistem tersebut dapat terbuka terhadap dunia luar.
ü  Berbagai macam Aliran pada ekosistem : informasi , energi, atau elemen yang berputar di antara cadangan. Aliran ini berputar dalam suatu jaringan komunikasi dengan tahapan aliran tersebut diatur dan dikendalikan oleh sistem peraturan .
ü  Putaran Informasi yang dienal feedback berperan penting dalam fungsi ekosistem dan menggabungkan peran cadangan waduk dan aliran .
ü  Proses yang tertunda membuat adanya suatu penyesuaian dari waktu ke waktu yang diperlukan agar prose tersebut efisien dalam ekosistem.

2.    KOMPLEKSITAS
Kompleksitas adalah konsep lain yang sulit untuk didefinisikan dengan tepat, karena termasuk bahasa keseharian kita.  Kita menggunakan kata tersebut untuk menyatakan kesulitan kita dalam menghadapi situasi yang sulit untuk dianalisa.  Banyak literatur ekologi yang menyatakan bahwa sistem biologi dan ekologi adalah kompleks.
Menurut Serres dan Farouki (1997), sebuah struktur materi disebut kompleks jika, secara terus menerus:
ü  Terdiri dari banyak elemen yang memiliki banyak kelompok/kategori ;
ü  Elemen-elemen tersebut dikelompokan dalam bagian-bagian organisasi dengan tingkatan hierarki
ü  Elemen-elemen dan bagiannya terhubung oleh interaksi yang besar dan berlapis.

Kekompleksan ekosistem tersebut antara lain dapat dilihat sebagai berikut (Jorgensen 1977)
ü  Jumlah mahluk hidup dan spesies di bumi sangat besar dan mereka semua berbeda . Spesies di muka bumi berjumlah sekitar 107, sedangkan individu adalah sekitar 1020. Besarnya jumlah spesies tersebut tentunya akan melahirkan sejumlah besar hubungan timbal balik. Dengan demikian, kompleksitas yang terjadi merupakan dampak dari hubungan antara individu, antara jaring makanan, serta antara organisme dan lingkungan abiotiknya dalam ruang dan waktu.  Pengamatan ini telah memulai perdebatan tentang hubungan antara stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati, yang menghasilkan kesimpulan mengecewakan : tidak ada hubungan sederhana antara keduanya.
ü  Sistem yang kompleks terdiri dari berbagai variasi komponen atau elemen yang memiliki fungsi khusus. Elemen –elemen tersebut dihubungkan oleh sifat alam dan intensitasnya yang dapat berubah dari waktu ke waktu . Hubungan seperti ini disebut non-linear karena mereka mungkin tergantung pada variabel lain. Proses alam seperti perubahan gelombang, putaran cairan, dan transportasi sedimen biasanya terjadi secara non - linear (Werner 1999).
ü  Ada banyak umpan balik dalam ekosistem. Secara khusus memungkinkan organisme untuk merespon dan beradaptasi terhadap perubahan pada kondisi lingkungan mereka . Karakteristik penting dari ekosistem yang kompleks pada pemikiran proses yang tertunda ini, menghasilkan perbedaan pada perputaran informasi serta alirannya, dan jangka waktu yang berbeda pada cadangan penyimpanan.  Penundaan ini memainkan peran penting dalam pengerasan dan penghalang menghalangi, dimana merupakan karakteristik ekosistem yang kompleks.
ü  Komponen ekosistem (strukturnya) dan prosesnya diatur dalam suatu hirarki, dari gen ke masyarakat. Setiap tingkatan merupakan suatu unit yang dipengaruhi oleh tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah dalam hirarki .
ü  Terdapat heterogenitas (perbedaan) yang terpisah dan sewaktu-waktu berubah karena ekosistem merupakan sistem dinamis dimana semua komponen biotik dan abiotik memodifikasi diri terus-menerus. Heterogenitas yang tinggi tersebut secara umum menjelaskan keragaman jenis/spesies. Tetapi hal ini menimbulkan kesulitan apabila ekosistem harus dimodelkan.
ü  Ekosistem dan komponen biologis mereka " berkembang " dalam jangka panjang menuju kompleksitas yang lebih besar . Semua spesies dihadapkan dengan pertanyaan tentang bagaimana untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang berubah . Mutasi dan seleksi alam adalah dasar dari evolusi dan munculnya spesies yang beradaptasi lebih baik terhadap perubahan lingkungan dimana diketahui telah berubah terus-menerus di masa lalu di bawah pengaruh faktor iklim (lihat Bab 17).
ü  Arah dan bentuk perubahan yang mempengaruhi ekosistem tergantung pada kondisi yang sudah ada. Hal ini sebagai pemikiran dimana sejarah ekosistem merupakan faktor penting dari perubahan. Pentingnya kondisi awal telah disorot dengan teori chaos.
ü  Jadi, ekosistem yang kompleks adalah keseluruhan jumlah dari bagian-bagiannya, tidak dalam sudut pandang metafisik, tetapi darisudut pandang pragmatis.  Mengingat sifat bagian dan hukum interaksi mereka, tidak mudah untuk menyimpulkan sifat-sifat keseluruhan (Simon, 1962).

Contoh Bentuk Sistem yang Kompleks: Iklim
Iklim merupakan contoh dari sistem yang kompleks dengan beberapa interaksi . Hujan yang jatuh di tanah memungkinkan pertumbuhan tanaman, transpirasi (proses fisiologis) memberikan kontribusi dengan evaporasi (proses fisik) untuk mengembalikan air dalam bentuk uap ke atmosfer. Uap air ini membentuk awan yang mencerminkan bagian dari radiasi matahari terhadap atmosfer, sehingga mengurangi masukan energi di permukaan bumi dan akibatnya mengurangi produksi primer. Namun uap air juga menyerap radiasi infra merah yang berasal dari matahari , sehingga menghasilkan efek rumah kaca yang mengubah suhu di planet ini. Selain itu, beberapa makhluk hidup menghasilkan yang disebut gas rumah kaca yang mempengaruhi kehangatan planet ini . Perbedaan suhu di permukaan bumi membuat perbedaan pada tekanan atmosfir di permukaan bumi yang menghasilkan angin dan tornado.  Angin menciptakan turbulensi yang berpengaruh pada evapotranspirasi dari permukaan tanah dan juga berkontribusi terhadap sirkulasi samudera, yang pada gilirannya mempengaruhi suhu global. Dalam siklus ini, terdapat keterlibatan yang konstan dari bentuk awan, bentuk permukaan bumi, radiasi atmosfer, dinamika lautan , dan proses biologis seperti produksi primer , dimana keseluruhannya terdapat dalam suatu interaksi (Rind 1999).




Lebih pragmatis, Pave (1994) membedakan sebagai berikut :
ü  Sebuah struktur yang kompleks yang berkaitan dengan berbangai elemen yang berinteraksi. Ini adalah gagasan topologi yang mungkin dihasilkan dari hubungan kompleks yang diteliti antara elemen pokok. Ini sesuai untuk sistem alami untuk tata ruang yang kompleks.
ü  Sifat yang kompleks berhubungan dengan ekosistem yang dinamis, akan menghasilkan parameter yang berbeda dalam ekosistem. Perbedaan sementara yang dinamis ini dapat merubah struktur (topologi atau spasial) dari sistem itu sendiri.

Kesimpulannya, interaksi antara bagian-bagian dari suatu ekosistem tidak hanya banyak tetapi juga menyebar dari ruang dan waktu, yang membuatnya sangat sulit untuk diidentifikasi hubungan sebab-akibat antara mereka. Gambaran perilaku dinamis ekosistem mengharuskan kita untuk menggunakan fungsi non-linear, respon tertunda, dan sebagainya. Dimana ketepatan prediksi kuantitatif tidak dapat dievaluasi dengan metode statistik konvensional (Maurer 1998). Kita masih sangat jauh untuk mengatasi kendala metodologis ini, dimana tidak terdapat dasar untuk pengembangan sistm ekologi.

Biokompleksitas
Biokompleksitas adalah istilah yang umum di Amerika Serikat yang dapat didefinisikan sebagai interaksi antara kehidupan dan lingkungannya. Kerumitan Biologis merupakan bentuk fungsi dari interaksi antara kesatuan biologi di semua tingkatan serta lingkungan biologi, kimia, fisika, dan manusia di semua tingkatan agregasi. Dengan demikian ditemukan awal dari perubahan fisika, kimia, biologi dan interaksi sosial yang berhubungan dengan organisme biologis atau organisme yang telah berubah oleh organism itu sendiri  termasuk manusia. Karakteristik dari biokompleksitas dapat dilihat pada perilaku non - linear dan ketidakteraturan, interaksi pada skala spatio-temporal yang berbeda, ketidakpastian, dan kebutuhan atau pengetahuan tentang ekosistem secara keseluruhan.
Mengingat bahwa semua sistem biologis, dari mulai molekul hingga ekosistem, merupakan sesuatu yang kompleks, sangat sulit untuk mengerti peran dan pengaruhnya terhadap ekosistem. Dalam konteks ini, biokompleksitas disajikan sebagai pendekatan sytemic dan multi-disiplin (yang melibatkan ahli biologi, geologi , kimia, fisika , sosiolog , ekonom , ahli statistik , dan sebagainya). Kolaborasi ini membuat penggunaan teknologi baru dengan maksud untuk memahami fungsi dan kompleksitas ekosistem. Penelitian terhadap biokompleksitas telah difokuskan, misalnya, pada pertanyaan-pertanyaan berikut :
        Bagaimana sistem dengan makhluk hidup merespon dan beradaptasi terhadap gangguan?
        Apakah adaptasi dan perubahan dapat diprediksi ?
        Sampai sejauh mana perubahan iklim dapat mengubah penyebaran dari suatu spesies?
        Bisakah kita memprediksi efek gabungan dari perubahan iklim dan sosial-ekonomi ?
        Sejauh mana keanekaragaman (spesies , genetik , budaya ) bekerja pada stabilitas ekosistem ?
Pada kenyataannya, biokompleksitas berfungsi sebagai wadah atas tema utama yang dikeluarkan oleh National Science Foundation (NSF), yaitu perubahan global, keanekaragaman hayati, dan dinamika ekosistem, atau bahkan dimensi manusia terhadap lingkungan.

3 .  TEORI INFORMASI DAN SIBERNETIK
Adanya kemajuan teori sibernetik, perkembangan konsep fisika dan matematika, memberikan alternatif untuk bidang ekologi dalam memahami mekanisme yang bekerja didalam ekosistem. Sibernetik adalah ilmu tentang proses komunikasi dan pengendalian informasi. Menurut Engelberg dan Boyarsky (1979), esensi dari sibernetik terletak pada jaringan komunikasi yang menjamin hubungan antara bagian-bagian dari sistem untuk membuat keterpaduan secara keseluruhan. Fungsi jaringan komunikasi ini adalah mengendalikan dan mengatur sistem untuk mengontrol aliran materi dalam lingkungan tertentu.
Sibernetik, atau teori perintah dan komunikasi pada hewan dan mesin, diciptakan oleh Norbert Wiener pada tahun 1948. Istilah sibernetika berasal dari kata Yunani, kubernesis, yang berarti kemudi kapal dalam pengertian umum berarti suatu tindakan untuk mengarahkan atau mengatur (Durand 1996). Meskipun definisi hibernetic yang diutarakan oleh wiener sangatlah luas, karena lebih menyangkut mesin dan hewan, yang berarti lebih terbatas dan didasarkan pada perintah-perintah terhadap perintah mesin. Namun, menurut Patten dan Odum (1981), ekosistem adalah sibernetic alam dimana interaksi antara siklus materi dan aliran energi, di kendalikan oleh jaringan informasi, yang bergerak secara individu. Dalam sistem sibernetik, pergerakan informasi menjamin sebagian besar interaksi dan sambungan antar subsistem dan lingkungan.  Pergerakan ini berkontribusi terhadap kontruksi secara keseluruhan dengan didasari oleh keterkaitannya (satu sama lain).
Teori informasi dibangun secara paralel dengan sistem sibernetik, yang pada awalnya terlihat hanya terdiri dari satu aspek . Tapi konsep baru ini memperluas cakupannya. Teori informasi telah dikembangkan lebih jauh oleh para ilmuwan insinyur telepon dari laboratorium Bell system”, dimana mereka tertarik dalam jaringan saluran dimana pesan disampaikan. Teori ini digunakan untuk memperkirakan keragaman saluran pada jaringan, atau ukuran informasi yang dihitung oleh Shannon-Wiener.  Para ilmuwan juga berusaha untuk membangun hubungan antara keragaman saluran dan kemampuan dari saluran untuk menyampaikan informasi.  Dalam teori komunikasi, jumlah informasi yang dibawa oleh sinyal didefinisikan sebagai fungsi kebalikan dari probabilitas (P) dari  realisasi dari suatu kejadian I = f (1/P) . Dengan kata lain, ketika sebuah peristiwa terjadi ia membawa informasi sebanyak mungkin yang mustahil sebelumnya (Frontier, Pichod - Viale 1998) .
Teori sibernetik dan informasi, secara bertahap muncul pada tahun 50-an. Teori ini pada akhirnya akan berintegrasi dengan konsep organisasi individu seperti yang disorot oleh Nicolis, Prigogine (1977) dengan sistem disipatif.

Indeks keragaman Shannon.
Salah satu cara  untuk menentukan keragaman spesies dalam ekosistem adalah dengan mengukur jumlah informasi yang dibawanya, dalam arti teori informasi. Secara khusus, indeks keanekaragaman Shannon digunakan untuk mengukur keragaman dalam komunitas biologis dengan menggabungkan dalam suatu estimasi indeks global  dari kekayaan spesies dan dari besar kecilnya keteraturan dari distribusi individu antar spesies.  Terdapat literatur ekologi yang banyak dalam teknik dan cara menerapkan konsep ini. Pada umumnya hasilnya berbeda karena kita sering berakhir dengan pengamatan sepele yang bisa dibuat secara independen dari semua perlakuan matematis. Seperti proses yang merubah informasi dasar, baik dalam seri kronologis atau perbandingan pengamatan, dengan mempelajari kekayaan spesies yang terkait dengan analisis faktor yang memungkinkan klasifikasi berdasarkan sifat dan kelimpahan relatif spesies. Memang benar bahwa analisis faktorial muncul secara kronologis pada indeks Shannon .
Saat ini, ahli ekologi mungkin berfikir bahwa hal ini hanya membuang-buang waktu mereka. Tetapi beberapa dari mereka percaya bahwa informasi Shannon yang mengukur stabilitas fenomena pada jaringan telepon juga dapat digunakan untuk menggambarkan stabilitas dalam sistem biologis (Colinvaux 1982).  Kenyataannya, sistem yang bekerja melalui jaringan kabel mencerminkan pilihan yang mungkin untuk perputaran informasi atau energi sehingga menjadi lebih stabil apabila jaringan tersebut memiliki lebih banyak persimpangan. Oleh karena itu, kesalahan terletak pada menentukan tanaman dan hewan yang mempunyai peran yang sama pada jaringan makanan jika dibandingkan dengan persimpangan pada jaringan telepon. Di alam, sebaliknya, organisme memblokir aliran dengan menyimpan nutrisi daripada meneruskan aliran nutrisi. Analogi antara sistem telepon dan ekosistem terlalu jauh yang menyebabkan ketidakonsistensian yang berpendapat bahwa organisme hidup berperilaku berbeda dengan yang mereka perkirakan.

3.1    Umpan balik
Pada sistem sederhana dari sebab dan akibat, input (energi, materi, informasi) berasal dari lingkungan menimbulkan respon dari sistem yang pada gilirannya akan menghasilkan energi, materi, dan informasi kepada lingkungan (Gambar 1a). Dalam sistem yang lebih kompleks, sebuta input dapat ditentukan, setidaknya sebagian, oleh output (Gambar 1b) . Hal ini dikenal sebagai umpan balik .
Sistem cybernetic adalah sistem retroaktif di mana jaringan informasi tertutup. Tindakan dari setiap elemen pada sistem merupakan pengaruh dari elemen lainnya. Karena adanya umpan balik, hasil dari suatu aksi dikembalikan kepada akhir input dari sistem dalam bentuk informasi. Ide dari umpan balik mematahkan teori kausalitas linear ; sebab dari akibat dan akibat dari sebabnya. Bentuk dari peraturan (konsep) ini membuat sistem tersebut autonomous.
Sebuah umpan balik disebut positif jika perubahan mengarah ke tindakan yang berlangsung dalam arah yang sama seperti tindakan utama. Efek akan terjadi secara kumulatif. Misalnya, spesies bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang sama, penurunan kepadatan satu spesies (A) menguntungkan spesies lain, yang jumlahnya meningkat, yang memberikan kontribusi untuk melemahkan spesies A pada masa yang akan datang. Pemikiran dari umpan balik yang positif telah diperluas untuk organisme yang mendapatkan keuntungan dari yang lain melalui interaksi dari jenis simbiosis mutualisme. Peran dari kompetisi telah banyak dipelajari oleh berbagai komunitas, peran interaksi positif mungkin kurang dianggap oleh para ahli ekologi karena dirasakan hanya memerankan peran kecil dalam komunitas alam (Stone, Weisburg 1992).  Komunitas alam menjadi wilayah yang belum tereksplorasi .
Di sisi lain, kondisi baru memiliki hasil untuk memicu ke arah kebalikan dari fenomena sebelumnya, yang disebut umpan balik negatif.  Umpan balik disebut negatif jika perubahan mengarah pada munculnya kekuatan yang menentang atau memperlambat terjadinya perubahan, yang menghasilkan aturan fenomena (Frontier,Pichod-Viale 1998). Misalnya, peningkatan biomassa fitoplankton mengarah pada pengurangan garam hara, yang akan memperlambat peningkatan populasi zooplankton yang memakan fitoplankton, yang juga akan memperlambat peningkatan dari biomassa fitoplankton. Hubungan mangsa - pemangsa mempunyai aturan pada setiap elemen dalam rantai (makanan), yang mengarah ke umpan balik negatif. Efek dari umpan balik negatif ini adalah untuk menstabilkan sistem cybernetic, untuk mengatur dan menentukan fungsinya. Ketika sistem ini terganggu, umpan balik mengurangi efek gangguan dengan mengatur variabel-variabel tertentu, dimana secara bertahap akan mempertahankan keseimbangan dalam sistem. Hal ini disebut resistensi, sebagai kebalikan dari ketahanan dalam perbedaan yang dibuat oleh ahli ekologi antara kedua bentuk stabilitas (lihat Bab 10).

3.2
    Jaringan informasi dalam ekosistem
Fungsi utama dari suatu ekosistem adalah untuk menjamin kehidupan yang abadi. Haruslah jelas sisa dari siklus biologi yang ada dan mengubahnya menjadi bentuk yang memungkinkan sisa itu untuk digunakan kembali. Oleh karena itu, fungsi dasar dari sebuah jaringan ekosistem adalah yang melibatkan aliran energi (hubungan trofik) dan siklus materi (proses mineralisasi). Menurut Patten, Odum (1981), namun, ada juga jaringan informasi yang disertakan pada jaringan dasar yang membantu untuk mengatur alirantersebut. Tanpa jaringan informasi, alam akan menjadi kacau dan tidak teratur .
Benang merah dari alam yang disebutkan pada jaringan ini (Odum 1971) adalah semua faktor, proses, dan interaksi yang terlibat dalam pengendalian aliran materi dan energi Misalnya, semua jenis penggunaan lingkungan fisik (udara, air, tanah, sedimen) serta berbagai visual, mekanik, pendengaran, penciuman, pengecapan dan sinyal lain yang membantu mengatur arus zat dan energi dalam biosfer .
Yang perlu disebutkan pada bagian ini bahwa bagian lain dari sistem informasi adalah perubahan yang kecil dapat menyebabkan dampak yang signifikan.  Banyak zat biokimia yang aktif pada tingkat rendah dapat terdeteksi. Perilaku organisme, warna tubuh , feromon, dan banyak sinyal lain dapat menimbulkan respon langsung atau tidak langsung dalam berbagai komponen dari sistem. Tampaknya bahwa perubahan dari sinyal masih dapat diterima oleh alam. Ahli ekologi pada umumnya memperhitungkan unsur-unsur dalam individual dengan cara masing-masing, dibandingkan dengan untuk memahami peranan sinyal-sinyal tersebut secara kolektif di dalam keseluruhan ekosistem. Penjelasan dari jaringan komunikasi yang luas dalam struktur ekosistem mungkin akan menjadi fokus penelitian dalam beberapa dekade mendatang.

3.3  Jaringan komunikasi dalam ekosistem
Komunikasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai aliran dari pemancar ke penerima . Pemancar harus memiliki mekanisme tertentu untuk menghasilkan rangsangan dan penerima harus memiliki reseptor khusus yang memungkinkan untuk menangkap sinyal-sinyal dan merespon secara khusus : pesan antara individu dari satu spesies atau spesies yang berbeda, pesan serangan, kerja sama, penyerahan, takut, marah, pesan rayuan dalam kaitannya dengan reproduksi, atau pesan yang berkontribusi terhadap struktur kehidupan sosial. Kehidupan yang kita ketahui telah terstruktur secara kuat oleh sistem komunikasi yang sudah lama diketahui. Bukti dari berbagai komunikasi antar spesies (Damet,Tordjman 1992) mendukung hipotesis Patten dan Odum (1981) tentang sifat cybernetic ekosistem alam. Peran dari jaringan komunikasi ini antar dan di dalam spesies dalam dinamika ekosistem perlu dipelajari secara serius. Beberapa contoh di bawah ini dimaksudkan untuk menggambarkan kemajuan terbaru dalam ilmu ini .
a)            Komunikasi dalam dan di antar spesies pada sistem aquatik.
Dalam sistem air, ada berbagai macam sinyal komunikasi.
-   Sinyal visual digunakan dalam air yang cukup jelas sehingga dapat dirasakan. Di banyak spesies ikan, perkawinan diawali dengan menggunakan sarana visual,  pergerakan, warna, dan posisi lawan jenis.
-   Sinyal kimia membutuhkan substansi yang luas tetapi biasanya lambat dan tidak secara langsung.  Komunikasi oleh media kimia diketahui sebagai pertukaran (komunikasi) pertama antara spesies dan individu (Saglio 1992).
-   Sinyal listrik terutama dikembangkan pada spesies ikan tertentu , terutama yang termasuk family Mormyridae, yang menggunakan sinyal secara terus menerus (Kramer  1990). Sinyal tersebut memungkinkan spesies ini hidup di air keruh, untuk mempertahankan hubungan sosial.
-   Sinyal Suara dan getaran yang diketahui digunakan pada vertebrata dan invertebrata. Suara disebarkan lebih cepat dalam air (1500 m/ detik) daripada di udara, sehingga merupakan sarana yang baik untuk komunikasi di jauh jarak saat komunikator tidak terlihat. Pada kenyataannya, sistem aquatic terlihat lebih berisik daripada yang kita percaya sekarang. Banyak spesies ikan yang dapat mengeluarkan suara atau sinyal lain, terutama dari getaran yang ditimbulkan oleh insang.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak kemajuan telah dibuat dalam pemahaman transfer informasi antara organisme melalui zat-zat kimia. Komunikasi interspesifik dengan zat kimia tampaknya mengontrol distribusi spasial pada banyak spesies plankton.  Hal ini mungkin menjadi asal dari berbagai bentuk distribusi spasial yang sebelumnya dianggap sebagai konsekuensi dari faktor abiotik (Larsson, Dodson 1993).  Terdapat pola harian dari migrasi vertikal oleh spesies phytoplankton dan zooplankton untuk menghindari predator (Jones 1993; Lampert 1993). Reaksi ini memungkinkan untuk merubah fungsi dari ekosistem aquatic dengan cara transfer nutrisi antara permukaan dan perairan yang lebih dalam.  Setidaknya terdapat empat jenis sinyal utama yang digunakan dalam lingkungan aquatik.
-   Kandungan alarm yang dihasilkan dari jaringan ikan yang terluka menyebabkan reaksi ketakutan (Carr 1988; Smith 1992) dan fenomena serupa telah diamati dalam invertebrata (Hazlett 1990). Organisme bentik dapat berubah microhabitats di sungai ketika mereka melihat sinyal kimia yang dipancarkan oleh predator ( Carr 1988) .
-   Penolakan juga dapat digunakan oleh mangsa untuk menjauhkan predator. Banyak ganggang yang beracun untuk zooplankton tetapi terdeteksi bahwa ganggang tersebut beracun dan menghindari untuk memakannya (Larsson, Dodson 1993).  juga terlihat bahwa kehadiran cyanobacteria akan merubah laju filtrasi dan pemilihan mangsa di krustasea planktonik (De Mott et al. 1991) . Respon ini dapat mengubah efisiensi transfer energi antara produsen primer dan konsumen . Pencarian atas fitoplankton bukanlah masalah hanya kuantitas tetapi juga masalah kualitas : zooplankton dimakan oleh beberapa spesies phytoplankton yang hadir .
-   Kairomones dihasilkan oleh predator yang membuat perubahan reaksi dari karakteristik sifat, bentuk dan biologis dari spesies buruannya (Dotson et al 1994). Sebagai contoh kandungan yang dikeluarkan oleh Daphnia membuat reaksi morfologi dari alga hijau spesies Scenedesmus, dengan formasi koloni sebanyak 4 – 8 sel dengan bentuk lebih panjang dan lebih runcing (Hessen dan Van Donk 1993). Dapat terlihat bahwa kehadiran rotifera dan copepoda juga bisa menyebabkan pembentukan koloni pada Scenedesmus. Dalam beberapa spesies Daphnia, kehadiran predator seperti larva Chaoborus atau ikan telah terbukti menyebabkan munculnya taji pelindung kepala dan cephalic (Tollrian, 1994). Selain itu, banyak penelitian telah membuktikan pengaruh dari zat yang dikeluarkan oleh predator tergantung dari kedewasaan dan kesuburan dari Daphnia ( Lampert , 1993).
-   Beberapa zat memilih habitatnya : banyak species dari invertebrata aquatic yang sessile pada fase dewasa, tetapi mempunyai tahapan plankton yang memudahkan dalam penyebaran populasi. Telah terbukti bahwa larva coelentera ,bryozoa , Annelids ,echinodermas , dan hewan lainnya menggunakan sinyal kimia untuk memilih habitat yang cocok pada fase dewasa (Carr 1988) .
b).  Komunikasi dalam tanaman terestrial
Seperti dengan hewan, tanaman individu dapat saling berhubungan dan berkomunikasi dengan berbagai cara :
-  Dengan sistem akar mereka .
- Dengan mediasi organisme seperti jamur mikoriza yang dapat membangun hubungan antara tanaman, yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Hubungan tersebut tidak terbatas hanya pada hubungan sejenis tetapi mungkin terhadap tanaman yang berbeda spesies. Dalam kedua permasalah tersebut, perpindahan zat ( mineral, karbohidrat ) telah terbukti .
- Udara atau air juga dapat menyebabkan transfer unsur kimia dari satu tanaman ke tanaman yang lain.  Contohnya adalah peran zat yang mudah menguap seperti etilen (Mattoo, Suttle 1991), yang menginduksi serangkaian perubahan fisiologis pada tanaman.

Hubungan antara tanaman sebagian besar telah dipelajari dalam konteks nutrisi dan persaingan. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa komunikasi terkait dengan zat volatil yang berasal dari tumbuhan memungkinkan untuk membuat tumbuhan yang tidak lengkap untuk memicu mekanisme pertahanan ketika mereka dekat tanaman yang utuh (Bruin et al. 1999). Tergantung dari kita untuk mengetahui secara detail mengapa dan bagaimana zat volatil yang dipancarkan oleh tanaman yang berada di bawah tekanan dan bagaimana tanaman sehat menggunakan informasi ini. Tetapi kejadian ini tampaknya sangat sulit untukdibuktikan. Ini dapat dianggap bahwa tanaman mampu mengantisipasi risiko tertentu melalui sinyal-sinyal ini, yang menginformasikan penerima ancaman yang akan datang . Dalam kasus interaksi tanaman predator , misalnya, tanaman reseptor dapat mencurahkan sebagian besar energi mereka untuk mekanisme pertahanan seperti peningkatan tingkat racun , inhibitor pencernaan , pengusir , atau pertahanan tidak langsung .

3.4   Kohesi Sibernetik Ekosistem
Dalam penelitian terbaru, gagasan Patten dan Odum bahwa ada jaringan komunikasi yang disertakan melalui jaringan materi dan aliran energi tampaknya samgatlah dimungkinkan. Meskipun banyak penemuan yang masih harus dibuktikan, hasil yang diperoleh sejauh ini tampaknya membuktikan bahwa komunitas spesies tidaklah terbentuk secara acak dimana mereka independen satu sama lainnya. Ada interaksi yang kuat dan beragam antar spesies, apakah mereka termasuk dalam kelompok taksonomi yang sama atau kelompok yang berbeda . Interaksi ini disajikan dalam keberadaan berbagai sinyal yang menjaga kohesi dari komunitas tumbuhan dan/atau merubah perilaku dan biologi dari spesies. Terdapat banyak hubungan simbiosis mutualistik yang berkontribusi untuk memberikan keseluruhan kohesi yang lebih baik
Semua interaksi ini tampaknya ada di semua lingkungan dan untuk semua kelompok . Kita dapat berbicara tentang kohesi cybernetic, yang berasal dari jaringan koneksi tak terlihat di antara komponen biotik suatu ekosistem.  Masalah ini masih perlu untuk dieksplorasi tetapi batasannya harus menjadi focus utama penelitian dalam dekade mendatang. Para ilmuwan sedang meneliti peran zat kimia sintetik atau produk mereka yang mungkin berperan pada kohesi cybernetic ekosistem. Dapatkah senyawa buatan dibuat dengan meniru bahan alami atau sifat alami spesies? Pertanyaan ini bukan tanpa dasar .

4 .   INPUT TERMODINAMIKA
Dalam mencari hukum-hukum universal alam, beberapa ahli ekologi telah meneliti kemungkinan hubungan antara termodinamika dan keteraturan biologis (Jorgensen 1997; Patten et al. 1977; Straskraba et al 1999). Termodinamika menekankan dualitas mendasar antara proses yang merupakan sumber ketertiban dalam sistem dan kecenderungan untuk gangguan (peningkatan entropi). Dua prinsip tersebut merupakan dasar termodinamika klasik. Mereka mengatur semua transformasi fisikokimia yang terjadi dalam sistem fisik dan yang pada dasarnya terisolasi atau sistem tertutup .
-       Prinsip pertama atau hukum kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi dapat ditularkan dari satu sistem ke sistem lain dalam berbagai bentuk, tetapi tidak dapat dimusnahkan atau diciptakan. Hasilnya adalah jumlah energy yang ada di alam semesta adalah tetap/konstan .
-       Prinsip kedua , dalam versi asli , menggambarkan perubahan ireversibel dari sistem yang tertutup menuju keadaan akhir dari kesetimbangan termodinamika dengan adanya peningkatan entropi, yang merupakan ukuran dari gangguan materi dan energi dalam sistem. Dari pengamatan bahwa panas tidak pernah bergerak secara spontan dari tubuh yang dingin terhadap tubuh yang panas, prinsip kedua ini menegaskan juga bahwa transfer energi ireversibel dalam proses alam. Selama proses yang terlibat dalam transformasi energi, energi berkualitas baik akan menurun menjadi energi yang kurang berkualitas.

Namun, termodinamika klasik dari fisika adalah ilmu keseimbangan, dari pernyataan akhir yang tidak mengalami perubahan reversibel, di mana faktor waktu tidak pernah muncul secara nyata. Ini tidak terjadi pada dunia yang kita tempati. Pertanyaan mendasar adalah apakah dengan demikian hukum ini benar-benar berlaku untuk sistem ekologi

4.1.   Prinsip-prinsip dasar termodinamika
a.      Sistem terbuka dan tertutup
Sistem terisolasi didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana interaksi dengan lingkungan sedemikian rupa sehingga tidak ada pertukaran materi atau energi dengan dunia luar. Sistem tersebut bersifat abstrak dan digunakan dalam hukum fisikokimia, tetapi hampir tidak ditemukan dalam ekologi. Di sisi lain sistem tertutup energi pertukaran juga terjadi, tetapi tidak berhubungan dengan dunia luar.  Pada sistem terbuka terjadi pertukaran energi dan materi dengan lingkungannya. Dengan demikian, bumi secara keseluruhan (biosfer) adalah sebuah sistem tertutup yang menerima energi radiasi matahari dan memancarkan radiasinya, tanpa adanya pertukaran materi dengan ruang (atau pertukaran dapat diabaikan) (Gambar 2). Sebaliknya, banyak sistem ekologi yang menganut sistem terbuka dalam pertukaran materi dan energi dengan sistem lainnya.

Gambar 5.2. Diagram fungsi termodinamika biosfere.  Energi matahari ditransformasikan ke biosfere dan panas diradiasi ke bumi


b.            Konservasi energi
Hukum thermodinamika pertama, dikenal dengan hukum Carnot, yang dinyatakan pada tahun 1824, yang menegaskan bahwa jumlah total  alam semesta adalah tetap/konstan.  Dalam prinsip konservasi energi tersebut menjelaskan bahwa energy tidak dapat diciptakan tetapi potensi energy dapat diubah dari satu bentuk kebentuk energi lainnya. Hal ini menggambarkan kesetaraan dari berbagai bentuk energi (seperti energy radiasi, mekanik, listrik, suhu, kimia) dan hukum yang menerapkan perubahan ini.  Perubahan energi dalam sebuah sistem (∆E) setara dengan jumlah kerja yang dikeluarkan oleh  sistem (∆W) ditambah energy yang dilepaskan (∆Q) didalam atau diantara sistem : ∆E = ∆W + ∆Q.  Sebagai contoh,  perubahan energi matahari menjadi energi kimia pada tanaman adalah sesuai dengan prinsip thermodinamika pertama: energi matahari yang digunakan untuk proses fotosintesis adalah setara dengan jumlah energi kimia yang digunakan untuk merubah zat-zat organic ditambah energy yang digunakan untuk proses respirasi.  Keseimbangan energi pada rantai makanan juga didasari pada prinsip konservasi dan transformasi energy.
c.             Keseimbangan dan entropi dalam hukum termodinamika
Pada tahun 1848, James Joule melakukan penelitian tentang pertukaran timbal balik panas menjadi kerja dan sebaliknya.  Tetapi penelitian dari pertukaran energi dalam mesin thermal juga membuktikan adanya tingkatan dari berbagai bentuk energi.  Energi mekanik, kimia, atau listrik dapat dirubah menjadi panas, tetapi transformasi balik (dari panas menjadi kerja mekanik) tidak dapat dilakukan sepenuhnya tanpa input/tambahan energy luar dan tanpa adanya energi yang hilang dalam bentuk energy panas yang tidak kembali. Setiap perubahan energi menganut sistem tersebut yaitu energi tingkat tinggi akan berkurang yang tidak dapat dirubah menjadi energi tingkat rendah. Energi tidak hilang tapi menjadi tidak tersedia untuk melakukan kerja. Photon yang berenergi tinggi dari spektrum matahari dirubah menjadi photon energi inframerah yang lebih rendah: 20 photon inframerah dihasilkan untuk setiap photon energi matahari yang terdegradasi. Prinsip kedua diperkenalkan dimana tidak terdapat kesamaan yang mendasar dengan hukum yang pertama, antara bentuk umum dari energi dan panas, yangmana hasil yang paling banyak berkurang dari bentuk itu (Boutot  1993).
Hukum termodinamika kedua atau hukum degradasi energi memperkenalkan fungsi baru dari sistem, entropi (dari bahasa Yunani “entropeyang berarti perubahan), yaitu sebuah pengukuran untuk kualitas energi yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah ukuran kekacauan/ketidakberaturan. Hal ini menunjukkan bahwa pada sistem terisolasi, tanpa adanya kekuatan dari luar, energi berkembang secara spontan terhadap keadaan kesetimbangan termodinamika, yangmana kenaikan entropi terjadi secara monoton dan tidak kembali hingga mencapai batas maksimal.  Hal ini terjadi karena adanya pemborosan dari energi dan massa, yaitu proses di mana terjadinya penurunan energi. Hukum peningkatan entropi adalah sebuah hukum dari peningkatan ketidakteraturan: dalam kesetimbangan termodinamika, sistem ini secara definisi tidak lagi berevolusi dan secara teoritis ditemukan keadaan degradasi yang lengkap ditandai oleh sebuah nilai dari semua parameter termodinamika (misalnya suhu, tekanan). Kedua prinsip termodinamika tersebut mempertanyakan tentang teori Newton yang menyatakan bahwa sistem adalah tertutup, deterministik, reversibel dan universal. Secara khusus, prinsip dari reversible dipertanyakan pada prinsip termodinamika kedua, dapat dilihat pada contoh sebagai berikut : waktu tidak dapat diubah, sehingga semua proses bergerak dalam satu arah yang tidak dapat dikembalikan karena hal tersebut melanggar hukum termodinamika kedua (Jorgensen 1997) .
Hukum termodinamika ketiga, kurang dikenal dibandingkan hukum pertama dan kedua, yang mana menetapkan bahwa produksi entropi merupakan fungsi dari suhu.  Ketidakteraturan tidak akan ada pada nilai nol (-273,15 ° C) tetapi muncul dengan meningkatnya suhu.

4.2  Pemborosan sistem dari termodinamika
Hukum termodinamika dan evolusi biologi sama-sama ditemukan pada abad 19-an. Dalam hal ini hukum termodinamika menyatakan tentang kecenderungan ketidakteraturan dalam evolusi pada sistem fisika, sedangkan konsep perubahan evolusi dalam biologi dikaitkan dengan adanya peningkatan organisasi, pembentukan struktur yang semakin kompleks.  Peningkatan dari sistem yang sangat teratur itu tampaknya bertentangan dengan prinsip kedua termodinamika bahwa setiap sistem yang makroskopik akan berkembang menuju keadaan kesetimbangan ditandai dengan peningkatan entropi, dalam hal ini penurunan susunan.  Selanjutnya bagaimanakah mekanisme dalam mempertahankan organisasi dari suatu makhluk hidup?
Dalam sistem ekologi untuk mempertahankan organisasi dan struktur internalnya (organisasi dalam ruang dan waktu) perlu dijaga pada tingkat entropi yang rendah. Dalam kenyataannya, sebagaimana pernyataan Frigogine (1968), sistem kehidupan tidak bisa disejajarkan dengan prinsip isolasi termodinamika tetapi hanya untuk membuka atau menutup ekosistem berkaitan dengan  interaksinya terhadap lingkungan luar.  Sistem terbuka, sejauh penerimaan energi dan massa dari luar masih cukup besar untuk tetap konstan, mungkin cenderung menuju ke arah keadaan yang seimbang dibanding dengan kesetimbangan termodinamika. Hal ini adalah keadaan yang seimbang dari ketidakseimbangan. Adanya pertukaran dengan lingkungan eksternal memungkinkan untuk mengantisipasi hukum peningkatan entropi yang terdapat pada hukum termodinamika kedua dalam sistem terisolasi. Dalam termodinamika, sistem yang mendapat gangguan energi disebut sistem disipatif.   Struktur sistem disipatif (yangmana energi tidak kekal) berhubungan dengan prinsip yang sama sekali berbeda dari urutan, yang terjadi karena adanya fluktuasi. Sistem tersebut dipengaruhi oleh adanya aliran energi dan akan hilang ketika aliran energi itu sendiri menghilang.
Sistem ekologi menyebabkan biosfer (kehidupan mahluk hidup) tetap ada dan akan tetap mempertahankan keberadaannya dengan cara aliran energi yang memungkinkan sirkulasi massa dan informasi.
Hal tersebut akan terjadi dengan adanya pertukaran energi dan massa yang yangmana keseimbangan jauh dari yang dapat dicapai dan dipertahankan berdasarkan prinsip keseimbangan termodinamika.  Kondisi tersebut mendasari bahwa karakter dari sistem ekologi merupakan fungsi dari sistem itu sendiri. Tanpa adanya masukan energi secara terus-menerus akan menyebabkan penurunan energi yang cepat.
Ekodema
Johnson (1981) mendefinisikan ekodeme adalah sebuah kelompok individu yang sama berinteraksi dengan satu sama lain dalam batas-batas yang dikenakan oleh batas-batas ruang ekologi mereka, menyajikan karakteristik struktur disipatif fungsional dan terorganisir yang mungkin aktif memperoleh energi dan melestarikannya. Ecodeme berhubungan dengan cara sebuah populasi (kumpulan individu dari spesies tunggal) yang mengkonsumsi energi , mengumpulkan bagiannya dalam bentuk biomassa dan menggunakan bagian lain untuk mempertahankan biomassa itu sendiri. Contoh dari ecodeme adalah populasi ikan terdiri dari individu besar ukuran relatif seragam yang dapat terlihat, seperti dalam danau alam Arktik (Johnson 1994). Struktur ini, ditandai dengan frekuensi ukuran, tampaknya stabil dari waktu ke waktu dan dapat dibandingkan dengan klimaks ekologi tanaman, yaitu keadaan stabil yang dapat bervariasi sesuai dengan tempat, sebagai fungsi dari spesies yang ada pada lingkungan tersebut. Struktur ini juga sesuai dengan prinsip energi disipasi (entropi kecil) untuk input energi yang diberikan. Usia individu mengurangi metabolisme dan rata-rata pembaharuannya rendah (P/B). Danau Arctic bukan merupakan kejadian terisolasi dan merupakan sistem telah diamati di berbagai belahan dunia. Secara teoritis, suatu ekosistem terdiri dari satu set ecodema yang berinteraksi dengan cara yang berbeda. Kecenderungan dari ecodeme untuk mendekati keadaan yang sedikit entropi akan diimbangi oleh sistem secara keseluruhan, yang cenderung sebaliknya menuju keadaan entropi yang lebih besar. Johnson (1994) akhirnya mengembangkan teori bahwa ekosistem adalah hasil dari dua berlawanan tapi hampir setara - kekuatan: satu cenderung meningkatkan energi dalam sistem dan menunda transfer (kasus ecodemes), sementara yang lain cenderung mempercepatnya. Dengan demikian, ekosistem adalah berada pada persimpangan dari dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu sisi, suksesi dalam skala dari waktu ekologi cenderung menuju keadaan stabil, klimaks.  Kecenderungan yang paling dominan adalah yang menuju ke arah homogenitas. Di sisi lain, diversifikasi pada skala evolusi dengan peningkatan jumlah spesies dan kompleksitas cara di mana energi perjalanan , mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan aliran energi di seluruh sistem .

Perubahan entropi dalam sistem disipatif disajikan dalam bentuk keseimbangan antara sebuah aliran energi entropi rendah yang berasal dari sumber eksternal dengan sistem persilangan serta produksi dari entropi dalam sistem itu sendiri (Nicolis, Prigogine 1977). Ini adalah sistem " input-output " (Patten et al. 1997) di mana proses anabolik dan katabolik saling bertentangan.  Pembentukannya cenderung untuk membangun sebuah struktur jauh dari kesetimbangan termodinamika, dimana kemudian membawa sistem tersebut menuju kesetimbangan termodinamika.  Isi dari rantai makanan mencakup pertimbangan berikut:

-       Sumber dari energi entropi rendah adalah radiasi matahari (foton energi tinggi) .
-       Anabolisme (tahap pengisian) adalah penggabungan energi berkualitas tinggi ke dalam struktur biokimia, yang menjaga sistem jauh dari kesetimbangan termodinamika.
-       Katabolisme (tahap pengurangan) sesuai dengan kerusakan struktur dengan pelepasan akumulasi energi kimia dan perubahannya ke dalam proses dan panas dari banyaknya perubahan geokimia, biokimia, dan biogeokimia.
-       Pemborosan dari energi yang terdegradasi dari bentuk panas ke udara (Photon energi rendah).

Rangkaian ini disebut oleh Patten et al . (1997) sebagai penurunan energi dalam jaringan makanan. Berbagai tahapan dari rangkaian diatur dalam siklus umum, sebuah siklus perputaran energy charge-discharge yang merupakan bentuk dasar dari fungsi energi pada ekosistem. Setiap sel atau organisme memiliki siklus charge-discharge sendiri. Pada tahapan charge ekosistem, bahan organik dan anorganik dari biosfer disintesis beberapa kali dalam bentuk jaringan energi tinggo dalam siklus produksi primer dan sekunder. Biomassa kemudian berubah menjadi proses dan panas selama tahapan discharge. Dengan demikian, organisme, ekosistem dan biosfer memiliki kesamaan karakteristik termodinamika yang penting, untuk menciptakan dan mempertahankan tingkat tinggi organisasi (atau kondisi entropi rendah) dengan cara degradasi energy tinggi secara terus menerus (cahaya dan nutrisi) menjadi energi rendah (panas), yang hilang keluar dari sistem (Jorgensen 1997).  Untuk ini, sistem harus terhubung ke sumber energi entropy rendah untuk menurunkan radiasi dari entropi tinggi, sebagai contoh yang berhubungan dengan ekosistem, yaitu kejadian radiasi matahari dan gelombang radiasi yang hilang di alam semesta. Ini adalah katabolisme dari ekosistem (respirasi) yang terus-menerus menghasilkan gangguan (panas) yang dilain pihak memungkinkan untuk mempertahankan ekosistem itu sendiri (matahari).
Harus diingat bahwa keberadaan sumber energi tidak cukup.  Faktor paling penting adalah adanya suatu sistem yang mampu mengubah energi menjadi kerja, sedemikian rupa untuk membangun dan memelihara sistem kehidupan yang kompleks, dari besar hingga yang kecil. Dengan demikian, bumi adalah sistem termodinamika terbuka karena mendapat energi yang tinggi dari matahari.  Sistem bumi harus mengurangi secara bertahap semua bagian-bagian fisika dan kimia yang tersedia. Dalam arti yang rumit, dapat disebutkan bahwa kehidupan di bumi adalah suatu cara untuk menjamin disipasi energi dari matahari. Bahkan, kehidupan bukan hanya sebuah sistem terisolasi (tertutup) tetapi mempunyai hubungan dengan proses disipasi gradien termodinamika (Jorgensen 1997).  Menurut hipotesis ini, pertumbuhan, perkembangan, dan evolusi dijelaskan dalam perspektif dari pemborosan energi.  Sistem tersebut berkurang secara besar terbawa dengan yang lain (Schneider, Kay  1994) .  
Organisme hidup dan ekosistem menyajikan banyak karakteristik dari struktur disipatif. Mereka memiliki kecenderungan untuk mendekati kondisi produksi entropi terendah dalam perkembangannya, mengingat bahwa tingkat metabolismenya menghilang dari waktu ke waktu, sementara mereka menumpuk energi biomassa .
Pada saat dewasa, organisme memasuki keadaan stabil dimana gangguan dapat menimbulkan peningkatan metabolisme, tetapi metabolisme kembali secara cepat ke tingkatan awal ketika gangguan tersebut berhenti. Ketika gangguan tetap di dalam batas-batas yang kompatibel dengan kelangsungan hidup dari sistem biologi, oganisme yang lain dimana produksi entropi lebih sedikit dapat diproduksi dalam kondisi ini. Namun, setidaknya dua karakteristik struktur disipatif akan hilang dalam sistem biologi atau ekologi : yang pertama adalah kontinuitas, karena masa hidup mereka terbatas dengan siklus hidupnya, dan yang kedua adalah bahwa mereka hanya dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam batas kapasitas adaptasi mereka, yang merupakan hasil dari kendala turunan dalam hal ini adalah organism (itu sendiri).

ENERGI
Energi didefinisikam sebagai kemampuan untuk mengerjakan tugas, berdasarkan prinsip fisika yangmana kerja membutuhkan energi. Hal ini dapat dinyatakan dalam cara yang berbeda: misalnya, mekanik, kinetik, kalor, kimia, listrik, elektromagnetik, atom. Semua bentuk energi dapat diubah menjadi panas, sehingga relatif mudah untuk mengekspresikan mereka dalam persamaan termal.
Satuan unitnya adalah kalori, yang setara dengan kuantitas dari energi kalori yang diperlukan untuk merubah 1 cc air suling dari 14,5°C sampai 15,5 ° C pada tekanan atmosfer.  Satuan Joule adalah setara dengan 4.187 kalori.

Emergy
Emergy adalah konsep yang diperkenalkan oleh H.T. Odum (1983) yang menyatakan energi yang dibutuhkan untuk penyebaran organisme pada tingkatan iklim yang berbeda. Emergy (dinyatakan dalam joule) dapat didefinisikan sebagai jumlah energi matahari yang dibutuhkan secara langsung atau tidak langsung untuk menghasilkan aliran, produk, atau persediaan. Untuk mengevaluasinya, sumber energi yang berbeda yang telah diteliti dalam penggabungan dari produk atau aliran yang harus diidentifikasi dan dirubah menjadi persamaan energy matahari. Beberapa ilmuwan menggambarkan emergy sebagai "memori dari energi" yang terdegradasi oleh proses transformasi. Semakin tinggi kerja yang dibutuhkan untuk penggabungan produk, semakin besar energy transformasi yang dibutuhkan, dan semakin besar pula produk tersebut mengandung emergy. Hal ini dapat disebutkan bahwa emergy adalah pekerjaan yang disediakan oleh biosfer untuk mempertahankan sistem yang jauh dari keseimbangan (Bastianodi dan Marchettini, 1997).
Exergy
Strukture disipatif seperti ekosistem memerlukan energi dan sebuah aliran exergy dibutuhkan agar sistem tersebut bekerja. Exergy mengukur kuantitas energi bebas dari biomassa yang terdapat dari struktur (Jorgensen 1996). Semakin banyak massa yang hidup pada suatu sistem, sistem besar kandungan exerginya. Jika sistem tersebut ada dalam kesetimbangan termodinamika dengan lingkungannya , exergy sama dengan nol, tetapi exergy dalam ekosistem akan berkembang lebih besar untuk menjauhkan dari keseimbangan.  Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada, sistem yang dapat menghasilkan exergy paling besar mempunyai keuntungan yang besar dan akan lebih dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang berbeda. Menurut Jorgensen (1997), penggunaan konsep exergy tampaknya lebih baik pada entropi untuk menggambarkan ketidakterbalikan dari proses yang dilakukan karena menggunakan satuan yang sama dengan energi (juga merupakan bentuk energi), sedangkan definisi entropi lebih sulit diterapkan dengan konsep yang umum.

4.3   Hukum Termodinamika ke-empat?
Faktor pembatas dalam prinsip konservasi massa adalah jumlah elemen pada bumi adalah konstan. Dalam kondisi ini, sistem ekologi tidak dapat berkembang dengan memproduksi massa organik yang lebih besar dengan menggunakan massa anorganik yang lebih besar, tetapi hanya dapat menggunaan sedikit dari unsur-unsur anorganik yang ada. Hal ini dimungkinkan dengan cara pengaturan yang lebih baik dari struktur : diversifikasi dari ekologi dan pertumbuhan jumlah kehidupan dalam rangka lebih merespon terhadap kendala yang bervariasi. Evolusi dari struktur ekosistem ini memungkinkan perbaikan dan penyimpanan exergy  yang lebih besar (Jorgensen 1997).
Namun, sebuah sistem tidak dapat menangkap exergy lebih dari yang dipancarkan oleh sinar matahari. Penyimpanan exergy pada gilirannya akan menjadi faktor pembatas ketika sistem cukup terorganisir.  Dalam konteks ini, kendala pada ekosistem adalah menggunakan exergy yang lebih baik: bagian kecil dari exergy ini harus digunakan untuk pemeliharaan sistem, dan bagian yang lebih besar untuk pengembangan struktur, digunakan sedemikian rupa untuk meningkatkan exergy yang disimpan dalam ekosistem.  Secara teori, sistem yang diatur oleh waktu untuk menggunakan energi cahaya secara efisien yang disimpan dalam bentuk energi kimia dalam biomassa.  Organisme akan mengembangkan mekanisme yang memungkinkan bagi mereka untuk menstabilkan proses kimia internalnya dan mempertahankan fungsi mereka dalam perubahan lingkungan. Terlebih lagi, ekosistem akan mampu berkembang dan menyesuaikan struktur dalam rangka meningkatkan penggunaan energi (Kay 1984) .
Atas dasar ini, Jorgensen mengusulkan hukum keempat termodinamika (atau hukum termodinamika ekologi) : setiap sistem yang menerima aliran energi berkualitas tinggi (energi entropi rendah atau exergy) akan memiliki kecenderungan untuk mengeksploitasi energi ini untuk mempertahankan dirinya jauh dari kesetimbangan termodinamika. Jika sistem memiliki beberapa alternatif untuk menggunakan aliran energi, maka juga akan mempunyai kecenderungan untuk memilih lingkungan yang dapat memberikan exergy maksimum yang memungkin kan pada kondisi yang ada.  Hukum keempat merupakan perluasan dari teori Darwin tentang seleksi alam : individu yang paling cenderung merespon perubahan lingkungan dengan adaptasi yang baik akan memungkinkan mereka untuk bertahan dan dipilih. Yang paling tepat untuk bertahan hidup adalah organisme yang memiliki karakteristik yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan biomassa mereka dalam kondisi yang ada, yaitu mereka yang memberikan kontribusi yang terbaik dengan akumulasi energi bebas (atau exergy ) pada sistem dimana mereka berasal, karena didasari oleh karakteristik biologis mereka .
Dalam konteks ini, ekosistem mempunyai kesempatan selama empat miliar tahun untuk membuat eksperimen trial-and-error, pengujian dan pemilihan skenario terbaik untuk menjaga mereka jauh dari kesetimbangan termodinamika. Dengan demikian kehidupan telah memilih berbagai solusi, beberapa dari mereka sangat rumit, dalam upaya untuk mengumpulkan exergy terbesar mungkin dalam kondisi yang sangat bervariasi, dari kedalaman laut sampai puncak gunung, ini keragaman kondisi dan solusi yang telah dibawa oleh evolusi menjelaskan kompleksitas biosfer yang besar seperti yang kita ketahui, juga keberadaan dari berbagai macam strategi reproduksi, pertumbuhan, dan kelangsungan hidup. Pada akhirnya, periode yang panjang selama evolusi telah menjadi dasar dari perkembangan sejumlah besar fenomena simbiosis dan/atau mutualistik, serta banyak fenomena umpan balik, yang menjelaskan munculnya efek Gia (Jorgensen 1997) . Hal ini membawa kita terhadap pengertian dari sistem adaptasi.