Rabu, 25 Desember 2013

KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

PAPER BRIEF
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui, praktek pembangunan kehutanan yang eksploitatif yang dilaksanakan pemerintah selama lebih dari tiga dasawarsa telah membawa berbagai dampak buruk.  Hal ini terlihat dari kondisi hutan alam yang semakin memperihatinkan, disamping berbagai kerusakan ekologis, serta yang lebih penting lagi adalah semakin termarjinalkannya masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan tersebut.  Praktek pembangunan kehutanan yang bersifat eksploitatif tersebut ternyata masih berlangsung hingga saat ini.
Masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu kelompok miskin terbesar di Indonesia. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8 juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan. (Wollenberg, 2004)
Menghadapi kondisi seperti tersebut di atas, pemerintah sejak tahun 1980-an telah merumuskan pendekatan yang lebih manusiawi bagi masyarakat lokal, seperti mengaktifkan kembali program tumpangsari yang dilakukan oleh Perum Perhutani maupun Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh pengusaha HPH.  Namun, program ini tidak berlangsung lama dan tidak membuahkan hasil yang optimal.  Kemudian muncul program-program lain seperti Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk mengoptimalkan pelaksanaan program kehutanan yang lebih berpihak pada masyarakat lokal.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber mata pencaharian. Dengan demikian pengelolaan hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Ketidakadilan yang ditandai dengan adanya ketimpangan dalam pemanfaatan hasil hutan. Pengelolaan hutan menempatkan masyarakat sebagai pelaku penting (Rahardjo, 2003 dalam Amanda, 2006).

B.  Kemiskinan dan kesejahteraan memiliki banyak dimensi
Memahami kesejahteraan dan kemiskinan merupakan langkah pertama dalam menanggulangi kemiskinan. Definisi yang bermakna diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab kemiskinan, tujuan penanggulangan kemiskinan, dan cakupan dari apa yang harus dilakukan. Definisi luas dari kemiskinan adalah ‘kurangnya kesejahteraan’. Oleh karena itu, ‘kemiskinan’ sebaiknya dimaknai sebagai ‘kurangnya kesejahteraan’ dan ‘kesejahteraan’ sebagai ‘kurangnya kemiskinan’.
Selama bertahun-tahun, ‘miskin’ didefinisikan tidak memiliki cukup uang. Banyak negara masih mengukur kemiskinan  dari sisi pendapatan, konsumsi atau akses terhadap pelayanan saja. Bahkan hingga sekarang, salah satu definisi kemiskinan yang paling dikenal adalah garis kemiskinan  dengan pendapatan minimum US$ 1 per hari. Bank Dunia masih menggunakan standar ini untuk membandingkan kemiskinan secara global (World Bank 2000/01, 2002). Saat ini, selain indeks US$1 di atas, organisasi organisasi pembangunan terkemuka seperti Bank Dunia dan UNDP menerapkan definisi kemiskinan yang mencakup aspek aspek seperti kebutuhan dasar, gaya hidup yang ditentukan sendiri, pilihan, aset, kapabilitas, inklusi sosial, ketidaksetaraan, hak asasi manusia, pemukiman, kerentanan, pemberdayaan dan kesejahteraan subyektif. Kemiskinan adalah kurangnya banyak  hal. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kurangnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga atau kurangnya kekayaan untuk menjamin stabilitas atau mengatasi perubahan akibat, misalnya, kehilangan pekerjaan, sakit atau krisiskrisis lainnya. Kemiskinan juga dapat berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar lain seperti kesehatan, pendidikan atau perumahan, tidak memadai. Tetapi kemiskinan juga bersifat subyektif dan mungkin disebabkan oleh perasaan kekurangan, kerentanan, keterkucilan, malu, atau menderita. Seseorang dapat merasa miskin jika kesejahteraannya turun, atau jika dia membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih sejahtera. Kemiskinan yang paling parah adalah apabila seseorang tidak hanya merasa miskin, tetapi juga kekurangan sarana untuk keluar dari kemiskinannya. Kemiskinan tidak hanya ‘tidak mempunyai ikan’, tetapi juga ‘tidak tahu cara menangkap ikan’, ‘tidak tahu tempat menangkap ikan’, ‘tidak memiliki pancing atau jaring’ atau ‘tidak memiliki hak untuk menangkap ikan’.
C.  Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis, letaknya sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan mata pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah sewajarnya masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan pembangunan. Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya yang paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi pembangunan kehutanan: pembangunan hutan yang lestari dan dapat mensejahterakan masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan dan bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009).
Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses masyarakat lokal terhadap pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan kebijakan akan mengurangi banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun dalam prakteknya, terjadi bias yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang berkepentingan terhadap hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan dilapangan dan persoalan malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya tingkat pendidikan masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang, dan diabaikannya isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan. Meskipun interaksi saling menguntungkan antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak tempat dan dalam berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia bagi berkembangnya praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah sempit, bila takbisa disebut tidak ada sama sekali.

D.  Pemberdayaan Masyarakat
Kegagalan dalam program Pemberdayaan masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.    Pemahaman program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara sektoral
2.    Masyarakat secara tradisional memiliki pengetahuan dan keterampilan yang telah ada secara turun temurun, akan sulit dikembangkan karena perlu penanganan lintas sektoral
3.    Keberagaman pengetahuan dan keterampilan tidak dapat digeneralisasi menjadi suatu program
4.    Pemerintah Daerah secara struktural yang mempunyai kewenangan dan memahami kondisi masyarakatnya seringkali tidak dilibatkan secara langsung
5.    Pemerintah secara umum tidak memberikan perlindungan baik melalui peraturan maupun implementasi di lapangan terhadap produk yang dihasilkan
6.    Program-program pemberdayaan masyarakat yang sudah digulirkan seringkali mengalami masalah ketika dibawa pada tataran makro

Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan harus dilaksanakan secara terintegrasi seluruh stakeholder dengan  persyaratan utama adalah sebagai berikut :
1. Integrasi program pemberdayaan oleh seluruh stakeholder sesuai peran dan fungsi masing-masing dengan prioritas atas kebutuhan masyarakat serta dukungan program pada sektor lain.
2. Peran pemerintah daerah sebagai otoritas formal dalam pemerintahan dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap masyarakatnya dapat lebih berperan dalam pemberdayaan masyarakat, sedangkan    Kementerian dan lembaga dapat memberikan bimbingan teknis sesuai peran kementerian dan lembaga tersebut dan dapat terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh.
3. Pemerintah dapat memberikan perlindungan khususnya terhadap produk yang dihasilkan melalui kegiatan pemberdayaan, keberlanjutan produksi, pangsa pasar serta kesetabilan dalam harga produk.
Gambar 1. Skema Pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi.




DAFTAR PUSTAKA.
Moeliono 2004, Eva Wollenberg, Brian Belcher, Douglas Sheil, Sonya Dewi, Moira, Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia? Center for International Forestry Research, CIFOR.
Amanda, Kiki, 2006  Perubahan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Akibat Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Studi Kasus Di Desa Ciasihan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)  Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bogor.
Wollenberg Eva, Brian Belcher, Douglas Sheil, Sonya Dewi, Moira Moeliono, 2004, Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia?, Forests and Governance Programme.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar