PAPER BRIEF
KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT SEKITAR HUTAN
A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui, praktek pembangunan kehutanan yang
eksploitatif yang dilaksanakan pemerintah selama lebih dari tiga dasawarsa
telah membawa berbagai dampak buruk. Hal
ini terlihat dari kondisi hutan alam yang semakin memperihatinkan, disamping
berbagai kerusakan ekologis, serta yang lebih penting lagi adalah semakin
termarjinalkannya masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya
hutan tersebut. Praktek pembangunan
kehutanan yang bersifat eksploitatif tersebut ternyata masih berlangsung hingga
saat ini.
Masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu
kelompok miskin terbesar di Indonesia. Di luar Jawa, kebanyakan masyarakat
pedesaan tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan negara. Sekitar 48,8
juta orang tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya
dianggap miskin. Selain itu ada 20 juta orang yang tinggal di desa-desa dekat
hutan dan enam juta orang di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan.
(Wollenberg, 2004)
Menghadapi kondisi seperti tersebut di atas, pemerintah
sejak tahun 1980-an telah merumuskan pendekatan yang lebih manusiawi bagi
masyarakat lokal, seperti mengaktifkan kembali program tumpangsari yang
dilakukan oleh Perum Perhutani maupun Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
oleh pengusaha HPH. Namun, program ini
tidak berlangsung lama dan tidak membuahkan hasil yang optimal. Kemudian muncul program-program lain seperti
Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Pembangunan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) untuk mengoptimalkan pelaksanaan program kehutanan
yang lebih berpihak pada masyarakat lokal.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan membuka
peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber mata
pencaharian. Dengan demikian pengelolaan hutan akan mengangkat status
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Ketidakadilan yang ditandai dengan
adanya ketimpangan dalam pemanfaatan hasil hutan. Pengelolaan hutan menempatkan
masyarakat sebagai pelaku penting (Rahardjo, 2003 dalam Amanda, 2006).
B. Kemiskinan
dan kesejahteraan memiliki banyak dimensi
Memahami kesejahteraan
dan kemiskinan merupakan langkah pertama dalam menanggulangi kemiskinan.
Definisi yang bermakna diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab kemiskinan,
tujuan penanggulangan kemiskinan, dan cakupan dari apa yang harus dilakukan. Definisi
luas dari kemiskinan adalah ‘kurangnya kesejahteraan’. Oleh karena itu, ‘kemiskinan’ sebaiknya dimaknai sebagai ‘kurangnya
kesejahteraan’ dan ‘kesejahteraan’ sebagai ‘kurangnya kemiskinan’.
Selama bertahun-tahun,
‘miskin’ didefinisikan tidak memiliki cukup uang. Banyak negara masih mengukur
kemiskinan dari sisi pendapatan,
konsumsi atau akses terhadap pelayanan saja. Bahkan hingga sekarang, salah satu
definisi kemiskinan yang paling dikenal adalah garis kemiskinan dengan pendapatan minimum US$ 1 per hari.
Bank Dunia masih menggunakan standar ini untuk membandingkan kemiskinan secara
global (World Bank 2000/01, 2002). Saat ini, selain indeks US$1 di atas,
organisasi organisasi pembangunan terkemuka seperti Bank Dunia dan UNDP
menerapkan definisi kemiskinan yang mencakup aspek aspek seperti kebutuhan
dasar, gaya hidup yang ditentukan sendiri, pilihan, aset, kapabilitas, inklusi
sosial, ketidaksetaraan, hak asasi manusia, pemukiman, kerentanan, pemberdayaan
dan kesejahteraan subyektif. Kemiskinan
adalah kurangnya banyak hal. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kurangnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga atau kurangnya kekayaan untuk menjamin stabilitas atau mengatasi
perubahan akibat, misalnya, kehilangan pekerjaan, sakit atau krisiskrisis lainnya.
Kemiskinan juga dapat berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar lain seperti
kesehatan, pendidikan atau perumahan, tidak memadai. Tetapi kemiskinan juga
bersifat subyektif dan mungkin disebabkan oleh perasaan kekurangan, kerentanan,
keterkucilan, malu, atau menderita. Seseorang dapat merasa miskin jika
kesejahteraannya turun, atau jika dia membandingkan dirinya dengan orang lain
yang lebih sejahtera. Kemiskinan yang paling parah adalah apabila seseorang
tidak hanya merasa miskin, tetapi juga kekurangan sarana
untuk keluar dari kemiskinannya. Kemiskinan tidak hanya ‘tidak mempunyai ikan’,
tetapi juga ‘tidak tahu cara menangkap ikan’, ‘tidak tahu tempat menangkap
ikan’, ‘tidak memiliki pancing atau jaring’ atau ‘tidak memiliki hak untuk menangkap
ikan’.
C. Masyarakat Sekitar Hutan
Masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah warga negara
yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan. Karena secara geografis,
letaknya sangat terpencil. Dimana jangkauan, akses informasi, pendidikan dan
mata pencahariannya serba terbatas. Dengan kondisi demikian, maka sudah
sewajarnya masyarakat tersebut diberdayakan melalui berbagai kegiatan
pembangunan. Terutama yang terkait dengan pembangunan hutan sebagai sumber daya
yang paling dekat dengan keberadaan mereka. Pernyataannya itu sejalan dengan visi
pembangunan kehutanan: pembangunan hutan yang lestari dan dapat mensejahterakan
masyarakat yang merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan hutan dan
bagian dari ekosistem hutan (Fenny 2009).
Menurut Mainawati (2004) pengelolaan hutan tidak hanya
dilaksanakan oleh pemerintah melainkan memerlukan peran aktif dari masyarakat
yang bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa adanya akses
masyarakat lokal terhadap pemanfaatan hutan dan terhadap proses perumusan
kebijakan akan mengurangi banyak permasalahan dalam pengelolaan hutan. Namun
dalam prakteknya, terjadi bias yang sangat besar antara pihak (stakeholders) yang
berkepentingan terhadap hutan. Pengakuan akses masyarakat jarang diterapkan
dilapangan dan persoalan malahan bertambah oleh anggapan mengenai rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat lokal, kelembagaan lokal yang tidak berkembang,
dan diabaikannya isu-isu budaya lokal oleh para perencana pembangunan. Meskipun interaksi saling menguntungkan
antara hutan dan masyarakat tersebut dapat dijumpai di banyak tempat dan dalam
berbagai karakter masyarakat lokal, kesempatan yang tersedia bagi berkembangnya
praktek-praktek pengelolaan hutan di tingkat lokal amatlah sempit,
bila takbisa disebut tidak ada sama sekali.
D. Pemberdayaan
Masyarakat
Kegagalan dalam program Pemberdayaan masyarakat dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemahaman program pemberdayaan
masyarakat yang dilaksanakan secara sektoral
2. Masyarakat secara tradisional memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
telah ada secara turun temurun, akan sulit dikembangkan karena perlu penanganan
lintas sektoral
3. Keberagaman pengetahuan dan keterampilan tidak dapat digeneralisasi
menjadi suatu program
4. Pemerintah Daerah secara struktural yang mempunyai kewenangan dan
memahami kondisi masyarakatnya seringkali tidak dilibatkan secara langsung
5. Pemerintah secara umum tidak memberikan perlindungan baik melalui
peraturan maupun implementasi di lapangan terhadap produk yang dihasilkan
6. Program-program pemberdayaan masyarakat yang sudah digulirkan seringkali
mengalami masalah ketika dibawa pada tataran makro
Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan harus dilaksanakan secara terintegrasi
seluruh stakeholder dengan persyaratan
utama adalah sebagai berikut :
1. Integrasi
program pemberdayaan oleh seluruh stakeholder sesuai peran dan fungsi
masing-masing dengan prioritas atas kebutuhan masyarakat serta dukungan program
pada sektor lain.
2. Peran
pemerintah daerah sebagai otoritas formal dalam pemerintahan dengan pengetahuan
dan pemahaman terhadap masyarakatnya dapat lebih berperan dalam pemberdayaan
masyarakat, sedangkan Kementerian dan
lembaga dapat memberikan bimbingan teknis sesuai peran kementerian dan lembaga
tersebut dan dapat terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh.
3. Pemerintah
dapat memberikan perlindungan khususnya terhadap produk yang dihasilkan melalui
kegiatan pemberdayaan, keberlanjutan produksi, pangsa pasar serta kesetabilan
dalam harga produk.
Gambar 1. Skema Pemberdayaan
masyarakat yang terintegrasi.

DAFTAR
PUSTAKA.
Moeliono
2004, Eva Wollenberg, Brian Belcher, Douglas Sheil, Sonya Dewi, Moira, Mengapa
kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia? Center for
International Forestry Research, CIFOR.
Amanda, Kiki, 2006 Perubahan Pemanfaatan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Akibat Perluasan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (Studi Kasus Di Desa Ciasihan, Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor) Departemen
Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Bogor.
Wollenberg Eva, Brian
Belcher, Douglas Sheil, Sonya Dewi, Moira Moeliono, 2004, Mengapa kawasan hutan
penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia?, Forests and Governance
Programme.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar